Pengikut

22 Feb 2010

tugas individu tidak resmi kimia lingkungan 21 februari 2010

Nama / NIM : Anshari Agus Framana / H1E109044

Prody : Teknik Lingkungan

Hari / Tanggal : Senin, 22 Februari 2010


1. Definisi serta konversi PPM (Part Per Million) dan PPB (Part Per Billion)

1.1 Definisi dan konversi PPM (Part Per Million)

PPM atau "Part per Million" atau "Bagian per Sejuta Bagian" dalam Bahasa Indonesia adalah satuan konsentrasi yang sering digunakan dalam cabang kimia analisa. Satuan ini digunakan untuk menunjukkan kandungan suatu senyawa dalam suatu larutan misalnya, kandungan garam dalam air laut, kandungan polutan dalam sungai, atau biasanya kandungan yodium dalam garam.

Konsentrasi ppm merupakan perbandingan antara berapa bagian senyawa dalam satu juta bagian suatu sistem.

ppm adalah satuan konsentrasi yang dinyatakan dalam satuan mg/Kg karena 1 Kg = 1.000.000 mg. Untuk satuan yang sering dipergunakan dalam larutan adalah mg/L, dengan ketentuan pelarutnya adalah air sebab dengan densitas air 1 g/mL maka 1 liter air memiliki massa 1 Kg. Contoh, kandungan Pb dalam air sungai adalah 40 ppm artinya dalam setiap 1 Kg air sungai terdapat 40 mg Pb. Kandungan karbon dalam baja adalah 3 ppm artinya dalam 1 Kg baja terdapat 3 mg karbon.

1.2 Definisi dan konversi PPB (Part Per Billion)

Bagian per miliar (ppb) adalah jumlah unit massa sebuah kontaminan per 1000 juta unit dari total massa. PPB digunakan untuk mengukur konsentrasi suatu kontaminan dalam tanah dan sedimen, dalam kasus 1 ppb = 1 μg/kg zat padat. Selain itu, ppb digunakan untuk menggambarkan konsentrasi kecil dalam air, di mana kasus 1 ppb adalah setara dengan 1 μg / L karena satu liter air beratnya kurang lebih 1.000.000 μg dan ppb juga sering digunakan untuk menggambarkan konsentrasi kontaminan di udara (sebagai fraksi volume), dalam kasus ini konversi ppb untuk μg/m 3 tergantung pada berat molekul dari kontaminan.

1 micro-g/L = 0.001 ppm

1 micro-g/m3 = 0.000001 juta ppm = 1 ppb (part per billion) dimana : 1 m3 = 1000 L


2. DDT (diklorodifeniltrikloroetana)

DDT (Dichloro Diphenyl Trichloroethane) adalah insektisida “tempo dulu” yang pernah disanjung “setinggi langit” karena jasa-jasanya dalam penanggulangan berbagai penyakit yang ditularkan vektor serangga. Tetapi kini penggunaan DDT di banyak negara di dunia terutama di Amerika Utara, Eropa Barat, dan juga di Indonesia telah dilarang.

Namun, karena persistensi DDT dalam lingkungan sangat lama, permasalahan DDT masih akan ber­lang­sung pada abad 21 sekarang ini. Adanya residu insektisida ini di tanah dan perairan dari penggunaan masa lalu dan adanya bahan DDT sisa yang belum digunakan dan masih tersimpan di gudang tempat penyimpanan di selurun dunia (termasuk di Indonesia) kini meng­hantui mahluk hidup di bumi. Bahan racun DDT sangat persisten (tahan lama, berpuluh-puluh tahun, bahkan mungkin sampai 100 tahun atau lebih) bertahan dalam lingkungan hidup sambil meracuni ekosistem tanpa dapat didegradasi secara fisik maupun biologis sehingga kini dan di masa mendatang kita masih terus mewaspadai akibat-akibat buruk yang diduga dapat ditimbulkan oleh keracunan DDT.

· Sifat kimiawi dan fisik DDT

Senyawa yang terdiri atas bentuk-bentuk isomer dari 1,1,1-trichloro-2,2-bis-(p-chlorophenyl) ethane yang secara awam disebut juga Dichoro Diphenyl Trichlorethane (DDT) diproduksi dengan mencampurkan chloralhydrate dengan chlorobenzene.

Sintesis DDT pertama dilakukan oleh Zeidler (1873) tetapi, sifat insektisidanya ditemukan oleh Dr. Paul Mueller (1939). Penggunaan DDT menjadi sangat populer selama Perang Dunia II, terutama untuk penanggulangan penyakit malaria, tifus dan berbagai penyakit lain yang ditularkan oleh nyamuk, lalat, dan kutu. Di India 1960, kematian oleh malaria mencapai 500.000 orang turun menjadi 1000 orang pada 1970. WHO memperkirakan bahwa DDT selama Perang Dunia II telah menyelamatkan sekitar 25 juta jiwa terutama dari ancaman malaria dan tifus sehingga Paul Mueller dianugerahi Nobel pada tahun 1948 dalam ilmu kedokteran dan fisiologi.

DDT adalah insektisida paling ampuh yang pernah ditemukan dan digunakan manusia dalam membunuh serangga tetapi juga paling berbahaya bagi umat manusia manusia sehingga dijuluki “The Most Famous and Infamous Insecticide”.

· Bahaya toksisitas DDT terhadap ekosistem

Rachel Carson (1962) dalam bukunya yang terkenal, ”Silenty Spring” menjuluki DDT sebagai obat yang membawa kematian bagi kehidupan di bumi. Demikian berbahayanya DDT bagi kehidupan di bumi sehingga atas rekomendasi EPA (Environmental Protection Agency) Amerika Serikat (1972) DDT dilarang digunakan terhitung 1 Januari 1973. Pengaruh buruk DDT terhadap lingkungan sudah mulai tampak sejak awal penggunaannya pada tahun 1940-an, dengan menurunnya populasi burung elang sampai hampir punah di Amerika Serikat. Dari pengamatan ternyata elang terkontaminasi DDT dari makanannya (terutama ikan sebagai mangsanya) yang tercemar. DDT menyebabkan cang­kang telur elang menjadi sangat rapuh sehingga rusak jika dieram. Dari segi bahayanya, oleh EPA DDT digolongkan dalam bahan racun PBT (persistent, bioaccumulative, and toxic) material.

Dua sifat buruk yang menyebabkan DDT sangat berbahaya terhadap lingkungan hidup adalah:

1. Sifat apolar DDT

DDT tidak larut dalam air tetapi sangat larut dalam lemak. Makin larut suatu insektisida dalam lemak (semakin lipofilik) semakin tinggi sifat apolarnya. Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab DDT sangat mudah menembus kulit.

2. Sifat DDT yang sangat stabil dan persisten

DDT sukar terurai sehingga cenderung bertahan dalam lingkungan hidup, masuk rantai makanan (foodchain) melalui bahan lemak jaringan mahluk hidup. Itu sebabnya DDT bersifat bioakumulatif dan biomagnifikatif karena sifatnya yang stabil dan persisten, DDT bertahan sangat lama di dalam tanah bahkan DDT dapat terikat dengan bahan organik dalam partikel tanah. Dalam ilmu lingkungan, DDT termasuk dalam urutan ke-3 dari polutan organik yang persisten (Persistent Organic Pollutants), yang memiliki sifat-sifat berikut:

a. Tak terdegradasi melalui fotolisis, biologis, maupun secara kimia.

b. Berhalogen (biasanya klor).

c. Daya larut dalam air sangat rendah.

d. Sangat larut dalam lemak.

e. Di udara dapat dipindahkan oleh angin melalui jarak jauh.

f. Bioakumulatif.

g. Biomagnifikatif (toksisitas meningkat sepanjang rantai makanan).

Di Amerika Serikat, DDT masih terdapat dalam tanah, air, dan udara. Kandungan DDT dalam tanah berkisar sekitar 0,18 sampai 5,86 parts per million (ppm), sedangkan sampel udara menunjukkan kandungan DDT 0.00001 sampai 1.56 mikrogram per meter kubik udara (ug/m3), dan di perairan (danau) kandungan DDT dan DDE pada taraf 0.001 mikrogram per liter (ug/L). Gejala keracunan akut pada manusia adalah sakit kepala, keletihan dan muntah. Efek keracunan kronis DDT adalah kerusakan sel-sel hati, ginjal, sistem saraf, sistem imunitas dan sistem reproduksi. Efek keracunan kronis pada unggas sangat jelas antara lain terjadinya penipisan cangkang telur dan demaskulinisasi

Sejak tidak digunakan lagi (1973) kandungan DDT dalam tanaman semakin menurun. Pada tahun 1981 rata-rata DDT dalam bahan makanan yang termakan oleh manusia adalah 32-6 mg/kg/hari, terbanyak dari umbi-umbian dan dedaunan. DDT ditemukan juga dalam daging, ikan dan unggas.

Walaupun di negara-negara maju (khususnya di Amerika Utara dan Eropa Barat) penggunaan DDT telah dilarang, di negara-negara berkembang terutama India, RRC dan negara-negara Afrika dan Amerika Selatan, DDT masih digunakan. Banyak negara telah mela­rang penggunaan DDT kecuali dalam keadaan darurat terutama jika muncul wabah penyakit seperti malaria, demam berdarah, dsb. Departeman Pertanian RI telah melarang penggunaan DDT di bidang pertanian sedangkan larangan penggunaan DDT di bidang kesehatan dilakukan pada tahun 1995. Komisi Pestisida RI juga sudah tidak memberi perijinan bagi pengunaan pestisida golongan hidrokarbon-berklor (chlorinated hydrocarbons) atau organoklorin (golongan insektisida di mana DDT termasuk).

· Permasalahan sekarang

Walaupun secara undang-undang telah dilarang, disinyalir DDT masih juga secara gelap digunakan karena keefektifannya dalam membunuh hama serangga. Demikian pula, banyaknya DDT yang masih tersimpan yang perlu dibinasakan tanpa membahayakan ekosistem manusia maupun kehidupan pada umumnya merupakan permasalahan bagi kita. Sebenarnya, bukan saja DDT yang memiliki daya racun serta persistensi yang demikian lamanya dapat bertahan di lingkungan hidup. Racun-racun POP lainnya yang juga perlu diwaspadai karena mungkin saja terdapat di tanah, udara maupun perairan di sekitar kita adalah aldrin, chlordane, dieldrin, endrin, heptachlor, mirex, toxaphene, hexachlorobenzene, PCB (polychlorinated biphenyls), dioxins dan furans.

Untuk mengeliminasi bahan racun biasanya berbagai cara dapat digunakan seperti secara termal, biologis atau kimia/fisik. Untuk Indonesia dipertimbangkan untuk mengadopsi cara stabilisasi/fiksasi karena dengan cara termal seperti insinerasi memerlukan biaya sangat tinggi. Prinsip stabilisasi/fiksasi adalah membuat racun tidak aktif/imobilisasi dengan enkapsulasi mikro dan makro sehingga DDT menjadi berkurang daya larutnya. Namun, permasalahan tetap masih ada karena DDT yang telah di-imobilisasi ini masih harus “dibuang” sebagai landfill di tempat yang “aman”.

3. Penyebab Pemanasan Global atau Global Warming

Matahari adalah sumber kehidupan bumi satu-satunya. Tanpa Matahari, kita sudah punah, tetapi kalau matahari memancarkan panas yang lebih dari biasanya, kita juga akan terbakar dan kena radiasi. Sinar matahari yang baik adalah yang seimbang, yang menyinari bumi sama dengan yang dilepas dari bumi. Bila jumlah panas yang masuk ke bumi dan dipantulkan kembali ke langit sama banyaknya, maka bumi tetap sehat dan layak buat manusia, tetapi bila panas yang dipancarkan ke bumi lebih banyak daripada yang dipantulkan kembali ke angkasa, maka suhu bumi akan panas. Inilah yang disebut pemanasan global atau global warming.

Pemanasan global atau Global Warming adalah adanya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi. Banyak kerugian yang dirasakan manusia di masa kini dan masa akan datang akibat pemanasan global. Dalam puluhan tahun ke depan diperkirakan ketinggian air laut bertambah karena es di kutub mencair.

Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18°C (1.33 ± 0.32°F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia” melalui efek rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8. Akan tetapi, masih terdapat beberapa ilmuwan yang tidak setuju dengan beberapa kesimpulan yang dikemukakan IPCC tersebut.

Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan suhu permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100. Perbedaan angka perkiraan itu disebabkan oleh penggunaan skenario-skenario berbeda mengenai emisi gas-gas rumah kaca di masa mendatang, serta model-model sensitivitas iklim yang berbeda. Walaupun sebagian besar penelitian terfokus pada periode hingga 2100, pemanasan dan kenaikan muka air laut diperkirakan akan terus berlanjut selama lebih dari seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil. Ini mencerminkan besarnya kapasitas panas dari lautan.

Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang lain seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrim, serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat-akibat pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser, dan punahnya berbagai jenis hewan.

Beberapa hal-hal yang masih diragukan para ilmuwan adalah mengenai jumlah pemanasan yang diperkirakan akan terjadi di masa depan, dan bagaimana pemanasan serta perubahan-perubahan yang terjadi tersebut akan bervariasi dari satu daerah ke daerah yang lain. Hingga saat ini masih terjadi perdebatan politik dan publik di dunia mengenai apa, jika ada, tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi atau membalikkan pemanasan lebih lanjut atau untuk beradaptasi terhadap konsekuensi-konsekuensi yang ada. Sebagian besar pemerintahan negara-negara di dunia telah menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto, yang mengarah pada pengurangan emisi gas-gas rumah kaca.

3.1 Penyebab Pemanasan Global

· Rumah Kaca

Rumah kaca atau green house sebenarnya adalah suatu bangunan tertutup yang dinding dan atapnya terbuat dari kaca. Rumah kaca ini berfungsi untuk mengatur iklim mikro (iklim di dalam rumah kaca itu) sesuai dengan keinginan kita. Jadi, seumpama di luar sedang musim dingin, maka di dalam rumah kaca ini suhunya bisa menjadi hangat. Caranya dengan menahan panas dari sinar matahari yang masuk melalui dinding dan atap kaca. Makanya rumah kaca lebih banyak digunakan untuk pertanian di daerah yang punya empat musim.

Prinsip yang mirip efek rumah kaca ini juga menyebakan terjadinya pemanasan global di bumi. Panas dari matahari yang masuk ke atmosfer bumi, tidak semuanya bisa dipantulkan kembali keluar atmosfer, sebagian panas tersebut tetap tertahan di dalam atmosfer bumi. Penyebabnya adalah polusi besar-besaran gas CO2. Gas CO2 yang berlebihan bisa menghambat keluarnya panas matahari yang dipantulkan bumi. Polusi gas CO2 ini paling besar berasal pembakaran bahan bakar fosil. Bahan bakar fosil ini adalah bahan bakar yang terbentuk dari fosil tumbuhan atau hewan purba. Bahan bakar ini misalnya minyak bumi (yang kemudian jadi bensin dan solar) dan batubara. Kemajuan teknologi industri dan kendaraan adalah penyumbang terbesar pembakaran bahan bakar fosil ini. Hingga saat ini, sebagian besar mobil masih menggunakan bensin atau solar sementara industri masih banyak yang memanfaatkan batu bara sebagai sumber tenaganya.

Dalam laporan terbaru, Fourth Assessment Report, yang dikeluarkan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), satu badan PBB yang terdiri dari 1.300 ilmuwan dari seluruh dunia, terungkap bahwa 90% aktivitas manusia selama 250 tahun terakhir inilah yang membuat planet kita semakin panas. Sejak Revolusi Industri, tingkat karbon dioksida beranjak naik mulai dari 280 ppm menjadi 379 ppm dalam 150 tahun terakhir. Tidak main-main, peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer Bumi itu tertinggi sejak 650.000 tahun terakhir!

IPCC juga menyimpulkan bahwa 90% gas rumah kaca yang dihasilkan manusia, seperti karbon dioksida, metana, dan dinitrogen oksida, khususnya selama 50 tahun ini, telah secara drastis menaikkan suhu Bumi. Sebelum masa industri, aktivitas manusia tidak banyak mengeluarkan gas rumah kaca, tetapi pertambahan penduduk, pembabatan hutan, industri peternakan, dan penggunaan bahan bakar fosil menyebabkan gas rumah kaca di atmosfer bertambah banyak dan menyumbang pada pemanasan global.

· Efek Umpan Balik

Anasir penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai proses umpan balik yang dihasilkannya. Sebagai contoh adalah pada penguapan air. Pada kasus pemanasan akibat bertambahnya gas-gas rumah kaca seperti CO2, pemanasan pada awalnya akan menyebabkan lebih banyaknya air yang menguap ke atmosfer. Karena uap air sendiri merupakan gas rumah kaca, pemanasan akan terus berlanjut dan menambah jumlah uap air di udara sampai tercapainya suatu kesetimbangan konsentrasi uap air. Efek rumah kaca yang dihasilkannya lebih besar bila dibandingkan oleh akibat gas CO2 sendiri. (Walaupun umpan balik ini meningkatkan kandungan air absolut di udara, kelembaban relatif udara hampir konstan atau bahkan agak menurun karena udara menjadi menghangat). Umpan balik ini hanya berdampak secara perlahan-lahan karena CO2 memiliki usia yang panjang di atmosfer.

Efek umpan balik karena pengaruh awan sedang menjadi objek penelitian saat ini. Bila dilihat dari bawah, awan akan memantulkan kembali radiasi infra merah ke permukaan, sehingga akan meningkatkan efek pemanasan. Sebaliknya bila dilihat dari atas, awan tersebut akan memantulkan sinar Matahari dan radiasi infra merah ke angkasa, sehingga meningkatkan efek pendinginan. Apakah efek netto-nya menghasilkan pemanasan atau pendinginan tergantung pada beberapa detail-detail tertentu seperti tipe dan ketinggian awan tersebut. Detail-detail ini sulit direpresentasikan dalam model iklim, antara lain karena awan sangat kecil bila dibandingkan dengan jarak antara batas-batas komputasional dalam model iklim (sekitar 125 hingga 500 km untuk model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat). Walaupun demikian, umpan balik awan berada pada peringkat dua bila dibandingkan dengan umpan balik uap air dan dianggap positif (menambah pemanasan) dalam semua model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat.

Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan cahaya (albedo) oleh es. Ketika temperatur global meningkat, es yang berada di dekat kutub mencair dengan kecepatan yang terus meningkat. Bersamaan dengan melelehnya es tersebut, daratan atau air dibawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun air memiliki kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan es, dan akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi Matahari. Hal ini akan menambah pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es yang mencair, menjadi suatu siklus yang berkelanjutan.

Umpan balik positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya tanah beku (permafrost) adalah mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan. Selain itu, es yang meleleh juga akan melepas CH4 yang juga menimbulkan umpan balik positif.

Kemampuan lautan untuk menyerap karbon juga akan berkurang bila ia menghangat, hal ini diakibatkan oleh menurunya tingkat nutrien pada zona mesopelagic sehingga membatasi pertumbuhan diatom daripada fitoplankton yang merupakan penyerap karbon yang rendah.

· Variasi Matahari

Terdapat hipotesa yang menyatakan bahwa variasi dari Matahari, dengan kemungkinan diperkuat oleh umpan balik dari awan, dapat memberi kontribusi dalam pemanasan saat ini. Perbedaan antara mekanisme ini dengan pemanasan akibat efek rumah kaca adalah meningkatnya aktivitas Matahari akan memanaskan stratosfer sebaliknya efek rumah kaca akan mendinginkan stratosfer. Pendinginan stratosfer bagian bawah paling tidak telah diamati sejak tahun 1960, yang tidak akan terjadi bila aktivitas Matahari menjadi kontributor utama pemanasan saat ini. (Penipisan lapisan ozon juga dapat memberikan efek pendinginan tersebut tetapi penipisan tersebut terjadi mulai akhir tahun 1970-an.) Fenomena variasi Matahari dikombinasikan dengan aktivitas gunung berapi mungkin telah memberikan efek pemanasan dari masa pra-industri hingga tahun 1950, serta efek pendinginan sejak tahun 1950.

Ada beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa kontribusi Matahari mungkin telah diabaikan dalam pemanasan global. Dua ilmuan dari Duke University mengestimasikan bahwa Matahari mungkin telah berkontribusi terhadap 45-50% peningkatan temperatur rata-rata global selama periode 1900-2000, dan sekitar 25-35% antara tahun 1980 dan 2000. Stott dan rekannya mengemukakan bahwa model iklim yang dijadikan pedoman saat ini membuat estimasi berlebihan terhadap efek gas-gas rumah kaca dibandingkan dengan pengaruh Matahari; mereka juga mengemukakan bahwa efek pendinginan dari debu vulkanik dan aerosol sulfat juga telah dipandang remeh. Walaupun demikian, mereka menyimpulkan bahwa bahkan dengan meningkatkan sensitivitas iklim terhadap pengaruh Matahari sekalipun, sebagian besar pemanasan yang terjadi pada dekade-dekade terakhir ini disebabkan oleh gas-gas rumah kaca.

Pada tahun 2006, sebuah tim ilmuan dari Amerika Serikat, Jerman dan Swiss menyatakan bahwa mereka tidak menemukan adanya peningkatan tingkat "keterangan" dari Matahari pada seribu tahun terakhir ini. Siklus Matahari hanya memberi peningkatan kecil sekitar 0,07% dalam tingkat "keterangannya" selama 30 tahun terakhir. Efek ini terlalu kecil untuk berkontribusi terhadap pemansan global. Sebuah penelitian oleh Lockwood dan Fröhlich menemukan bahwa tidak ada hubungan antara pemanasan global dengan variasi Matahari sejak tahun 1985, baik melalui variasi dari output Matahari maupun variasi dalam sinar kosmis.

· Jumlah Populasi Penduduk

Luas tanah di bumi tidak bertambah, tetapi jumlah penduduk semakin banyak. Akibatnya, lahan untuk tumbuhan dan pertanian semakin sedikit karena dipakai untuk tempat tinggal manusia. Selain itu, penduduk yang bertambah banyak juga membutuhkan air yang lebih banyak. Air yang seharusnya untuk irigasi tanaman dan tumbuhan berkurang karena dipakai manusia. Tanaman yang tidak mendapat pasokan air akhirnya menghasilkan panen yang semakin sedikit.

· Industri

Negara industri atau yang disebut sebagai negara maju adalah yang paling bertanggung jawab terjadinya pemanasan global. Bagaimana tidak, negara-negara maju seperti Amerika dan Eropa menyumbang 50 persen lebih penyebab pemanasan global. Yang paling buruk adalah industri mobil yang dulu pusatnya di Amerika. Kini industri besar-besaran tidak cuma di Amerika, tetapi juga di negara yang sedang berkembang seperti China, India, dan Indonesia. Polusi dari industri hampir merata di seluruh di dunia.

· Sampah

Sampah menghasilkan gas metana (CH4). Diperkirakan 1 ton sampah padat menghasilkan 50 kg gas metana. Sampah merupakan masalah besar yang dihadapi kota-kota di Indonesia. Menurut Kementerian Negara Lingkungan Hidup pada tahun 1995 rata-rata orang di perkotaan di Indonesia menghasilkan sampah sebanyak 0,8 kg/hari dan pada tahun 2000 terus meningkat menjadi 1 kg/hari. Dilain pihak jumlah penduduk terus meningkat sehingga diperkirakan pada tahun 2020 sampah yang dihasilkan mencapai 500 juta kg/hari atau 190 ribu ton/tahun. Dengan jumlah ini maka sampah akan mengemisikan gas metana sebesar 9500 ton/tahun. Dengan demikian, sampah di perkotaan merupakan sektor yang sangat potensial, mempercepat proses terjadinya pemanasan global.

· Kerusakan hutan

Salah satu fungsi tumbuhan yaitu menyerap karbondioksida (CO2), yang merupakan salah satu dari gas rumah kaca dan mengubahnya menjadi oksigen (O2). Saat ini di Indonesia diketahui telah terjadi kerusakan hutan yang cukup parah. Menurut data dari Forest Watch Indonesia (2001), laju kerusakan hutan di Indonesia sekitar 2,2 juta/tahun. Kerusakan hutan tersebut disebabkan oleh kebakaran hutan, perubahan tata guna lahan yaitu perubahan hutan menjadi perkebunan dengan tanaman tunggal secara besar-besaran, misalnya perkebunan kelapa sawit serta kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Dengan kerusakan seperti tersebut diatas, tentu saja proses penyerapan karbondioksida tidak dapat optimal. Hal ini akan mempercepat terjadinya pemanasan global. Menurut data dari Yayasan Pelangi pada tahun 1990, emisi gas CO2 yang dilepaskan oleh sektor kehutanan termasuk perubahan tata guna lahan mencapai 64 % dari total emisi CO2 Indonesia yang mencapai 748,61 kiloTon. Pada tahun 1994 terjadi peningkatan emisi karbon menjadi 74%.

· Pertanian dan Peternakan (konsumsi daging)

Sektor ini memberikan kontribusi terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca melalui sawah-sawah yang tergenang yang menghasilkan gas metana. Pemanfaatan pupuk serta praktek pertanian, pembakaran sisa-sisa tanaman, pembusukan sisa-sisa pertanian, dan pembusukan kotoran ternak. Dari sektor ini gas rumah kaca yang dihasilkan yaitu gas metana (CH4) dan gas dinitro oksida (N2O).

Penelitian yang telah dilakukan para ahli selama beberapa dekade terakhir ini menunjukkan bahwa ternyata makin panasnya planet bumi dan berubahnya sistem iklim di bumi terkait langsung dengan gas-gas rumah kaca yang dihasilkan oleh aktivitas manusia.

Khusus untuk mengawasi sebab dan dampak yang dihasilkan oleh pemanasan global, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) membentuk sebuah kelompok peneliti yang disebut dengan Panel Antarpemerintah Tentang Perubahan Iklim atau disebut International Panel on Climate Change (IPCC). Setiap beberapa tahun sekali, ribuan ahli dan peneliti-peneliti terbaik dunia yang tergabung dalam IPCC mengadakan pertemuan untuk mendiskusikan penemuan-penemuan terbaru yang berhubungan dengan pemanasan global, dan membuat kesimpulan dari laporan dan penemuan- penemuan baru yang berhasil dikumpulkan, kemudian membuat persetujuan untuk solusi dari masalah tersebut .

Salah satu hal pertama yang mereka temukan adalah bahwa beberapa jenis gas rumah kaca bertanggung jawab langsung terhadap pemanasan yang kita alami, dan manusialah kontributor terbesar dari terciptanya gas-gas rumah kaca tersebut. Kebanyakan dari gas rumah kaca ini dihasilkan oleh peternakan, pembakaran bahan bakar fosil pada kendaraan bermotor, pabrik-pabrik modern, pembangkit tenaga listrik, serta pembabatan hutan.

Tetapi, menurut Laporan Perserikatan Bangsa Bangsa tentang peternakan dan lingkungan yang diterbitkan pada tahun 2006 mengungkapkan bahwa, "industri peternakan adalah penghasil emisi gas rumah kaca yang terbesar (18%), jumlah ini lebih banyak dari gabungan emisi gas rumah kaca seluruh transportasi di seluruh dunia (13%). " Hampir seperlima (20 persen) dari emisi karbon berasal dari peternakan. Jumlah ini melampaui jumlah emisi gabungan yang berasal dari semua kendaraan di dunia!

Sektor peternakan telah menyumbang 9 persen karbon dioksida, 37 persen gas metana (mempunyai efek pemanasan 72 kali lebih kuat dari CO2 dalam jangka 20 tahun, dan 23 kali dalam jangka 100 tahun), serta 65 persen dinitrogen oksida (mempunyai efek pemanasan 296 kali lebih lebih kuat dari CO2). Peternakan juga menimbulkan 64 persen amonia yang dihasilkan karena campur tangan manusia sehingga mengakibatkan hujan asam.

Peternakan juga telah menjadi penyebab utama dari kerusakan tanah dan polusi air. Saat ini peternakan menggunakan 30 persen dari permukaan tanah di Bumi, dan bahkan lebih banyak lahan serta air yang digunakan untuk menanam makanan ternak.

Menurut laporan Bapak Steinfeld, pengarang senior dari Organisasi Pangan dan Pertanian, Dampak Buruk yang Lama dari Peternakan - Isu dan Pilihan Lingkungan (Livestock's Long Shadow-Environmental Issues and Options), peternakan adalah "penggerak utama dari penebangan hutan kira-kira 70 persen dari bekas hutan di Amazon telah dialih-fungsikan menjadi ladang ternak.

Selain itu, ladang pakan ternak telah menurunkan mutu tanah. Kira-kira 20 persen dari padang rumput turun mutunya karena pemeliharaan ternak yang berlebihan, pemadatan, dan erosi. Peternakan juga bertanggung jawab atas konsumsi dan polusi air yang sangat banyak. Di Amerika Serikat sendiri, trilyunan galon air irigasi digunakan untuk menanam pakan ternak setiap tahunnya. Sekitar 85 persen dari sumber air bersih di Amerika Serikat digunakan untuk itu. Ternak juga menimbulkan limbah biologi berlebihan bagi ekosistem.

Selain kerusakan terhadap lingkungan dan ekosistem, tidak sulit untuk menghitung bahwa industri ternak sama sekali tidak hemat energi. Industri ternak memerlukan energi yang berlimpah untuk mengubah ternak menjadi daging di atas meja makan orang. Untuk memproduksi satu kilogram daging, telah menghasilkan emisi karbon dioksida sebanyak 36,4 kilo. Sedangkan untuk memproduksi satu kalori protein, kita hanya memerlukan dua kalori bahan bakar fosil untuk menghasilkan kacang kedelai, tiga kalori untuk jagung dan gandum; akan tetapi memerlukan 54 kalori energi minyak tanah untuk protein daging sapi!

Itu berarti kita telah memboroskan bahan bakar fosil 27 kali lebih banyak hanya untuk membuat sebuah hamburger daripada konsumsi yang diperlukan untuk membuat hamburger dari kacang kedelai!

Dengan menggabungkan biaya energi, konsumsi air, penggunaan lahan, polusi lingkungan, kerusakan ekosistem, tidaklah mengherankan jika satu orang berdiet daging dapat memberi makan 15 orang berdiet tumbuh-tumbuhan atau lebih.

Dampak Pemanasan Global

Para ilmuan menggunakan model komputer dari temperatur, pola presipitasi, dan sirkulasi atmosfer untuk mempelajari pemanasan global. Berdasarkan model tersebut, para ilmuan telah membuat beberapa prakiraan mengenai dampak pemanasan global terhadap cuaca, tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan hewan liar dan kesehatan manusia.

· Iklim Mulai Tidak Stabil

Para ilmuan memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara dari belahan Bumi Utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung di perairan Utara tersebut. Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Temperatur pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk meningkat.

Daerah hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari lautan. Para ilmuan belum begitu yakin apakah kelembaban tersebut malah akan meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang lebih jauh lagi. Hal ini disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca, sehingga keberadaannya akan meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga akan membentuk awan yang lebih banyak, sehingga akan memantulkan cahaya matahari kembali ke angkasa luar, di mana hal ini akan menurunkan proses pemanasan (lihat siklus air). Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan. (Curah hujan di seluruh dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam seratus tahun terakhir ini). Badai akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane) yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrim.

· Peningkatan Permukaan Laut

Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan juga akan mencairkan banyak es di kutub, terutama sekitar Greenland, yang lebih memperbanyak volume air di laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia telah meningkat 10 - 25 cm (4 - 10 inchi) selama abad ke-20, dan para ilmuan IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut 9 - 88 cm (4 - 35 inchi) pada abad ke-21.

Perubahan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah pantai. Kenaikan 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda, 17,5 persen daerah Bangladesh, dan banyak pulau-pulau. Erosi dari tebing, pantai, dan bukit pasir akan meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan. Negara-negara kaya akan menghabiskan dana yang sangat besar untuk melindungi daerah pantainya, sedangkan negara-negara miskin mungkin hanya dapat melakukan evakuasi dari daerah pantai.

Bahkan sedikit kenaikan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi ekosistem pantai. Kenaikan 50 cm (20 inchi) akan menenggelamkan separuh dari rawa-rawa pantai di Amerika Serikat. Rawa-rawa baru juga akan terbentuk, tetapi tidak di area perkotaan dan daerah yang sudah dibangun. Kenaikan muka laut ini akan menutupi sebagian besar dari Florida Everglades.

· Suhu global cenderung meningkat

Orang mungkin beranggapan bahwa Bumi yang hangat akan menghasilkan lebih banyak makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di beberapa tempat. Bagian Selatan Kanada, sebagai contoh, mungkin akan mendapat keuntungan dari lebih tingginya curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di lain pihak, lahan pertanian tropis semi kering di beberapa bagian Afrika mungkin tidak dapat tumbuh. Daerah pertanian gurun yang menggunakan air irigasi dari gunung-gunung yang jauh dapat menderita jika snowpack (kumpulan salju) musim dingin, yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair sebelum puncak bulan-bulan masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami serangan serangga dan penyakit yang lebih hebat.

· Gangguan Ekologis

Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari efek pemanasan ini karena sebagian besar lahan telah dikuasai manusia. Dalam pemanasan global, hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas pegunungan. Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari daerah baru karena habitat lamanya menjadi terlalu hangat. Akan tetapi, pembangunan manusia akan menghalangi perpindahan ini. Spesies-spesies yang bermigrasi ke utara atau selatan yang terhalangi oleh kota-kota atau lahan-lahan pertanian mungkin akan mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu secara cepat berpindah menuju kutub mungkin juga akan musnah.

· Dampak Sosial dan Politik

Perubahan cuaca dan lautan dapat mengakibatkan munculnya penyakit-penyakit yang berhubungan dengan panas (heat stroke) dan kematian. Temperatur yang panas juga dapat menyebabkan gagal panen sehingga akan muncul kelaparan dan malnutrisi. Perubahan cuaca yang ekstrem dan peningkatan permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub utara dapat menyebabkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan bencana alam (banjir, badai dan kebakaran) dan kematian akibat trauma. Timbulnya bencana alam biasanya disertai dengan perpindahan penduduk ke tempat-tempat pengungsian dimana sering muncul penyakit, seperti: diare, malnutrisi, defisiensi mikronutrien, trauma psikologis, penyakit kulit, dan lain-lain.

Pergeseran ekosistem dapat memberi dampak pada penyebaran penyakit melalui air (Waterborne diseases) maupun penyebaran penyakit melalui vektor (vector-borne diseases). Seperti meningkatnya kejadian Demam Berdarah karena munculnya ruang (ekosistem) baru untuk nyamuk ini berkembang biak. Dengan adamya perubahan iklim ini maka ada beberapa spesies vektor penyakit (eq Aedes Agipty), Virus, bakteri, plasmodium menjadi lebih resisten terhadap obat tertentu yang target nya adala organisme tersebut. Selain itu bisa diprediksi kan bahwa ada beberapa spesies yang secara alamiah akan terseleksi ataupun punah dikarenakan perbuhan ekosistem yang ekstreem ini. hal ini juga akan berdampak perubahan iklim (Climat change)yang bis berdampak kepada peningkatan kasus penyakit tertentu seperti ISPA (kemarau panjang / kebakaran hutan, DBD Kaitan dengan musim hujan tidak menentu)

Gradasi Lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran limbah pada sungai juga berkontribusi pada waterborne diseases dan vector-borne disease. Ditambah pula dengan polusi udara hasil emisi gas-gas pabrik yang tidak terkontrol selanjutnya akan berkontribusi terhadap penyakit-penyakit saluran pernafasan seperti asma, alergi, coccidiodomycosis, penyakit jantung dan paru kronis, dan lain-lain.

3.2 Pengendalian Pemanasan Global

Konsumsi total bahan bakar fosil di dunia meningkat sebesar 1 persen per-tahun. Langkah-langkah yang dilakukan atau yang sedang diskusikan saat ini tidak ada yang dapat mencegah pemanasan global di masa depan. Tantangan yang ada saat ini adalah mengatasi efek yang timbul sambil melakukan langkah-langkah untuk mencegah semakin berubahnya iklim di masa depan.

Kerusakan yang parah dapat diatasi dengan berbagai cara. Daerah pantai dapat dilindungi dengan dinding dan penghalang untuk mencegah masuknya air laut. Cara lainnya, pemerintah dapat membantu populasi di pantai untuk pindah ke daerah yang lebih tinggi. Beberapa negara, seperti Amerika Serikat, dapat menyelamatkan tumbuhan dan hewan dengan tetap menjaga koridor (jalur) habitatnya, mengosongkan tanah yang belum dibangun dari selatan ke utara. Spesies-spesies dapat secara perlahan-lahan berpindah sepanjang koridor ini untuk menuju ke habitat yang lebih dingin.

Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen karbon-nya di tempat lain. Cara ini disebut carbon sequestration (menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah kaca.

Sumber :

2008. Definisi PPM (Part Per Million) atau Bagian per Sejuta Bagian. http://belajarkimia.com/definisi-ppm-part-per-million-atau-bagian-per-sejuta bagian/ , www.google.com. Diakses tanggal 15 Februari 2010.

2009. Bagian per miliar. http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://www.greenfacts.org/glossary/pqrs/parts-per-billion.htm/ , www.google.com. Diakses tanggal 15 Februari 2010.

C Tarumingkeng, Rudy, PhD. 2000. DDT dan permasalahannya di ABAD 21 (DDT and its problem in 21st century). http://www.rudyct.com/dethh/9_DDT_and_its_problem.htm/ , www.google.com. Diakses tanggal 15 Februari 2010.

2010. Pemanasan Global. http://id.wikipedia.org/wiki/Pemanasan_global. www.translate.google.com. Diakses tanggal 19 Februari 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar