Pengikut

16 Mar 2010

minyak jelantan jadi bahan bakar alternatif


Sebuah berita menggembirakan datang dari Kementerian Negara Riset dan Teknologi, yang mengabarkan bahwa minya bekas penggorengan atau yang dikenal dengan nama minyak jelantah ternyata dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan untuk kompor masak. Untuk itu, melihat kondisi kenaikan harga BBM dan harga minyak bumi, BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) telah melakukan percobaan membuat kompor berbahan bakar nabati yakni dari minyak bakar jelantah.

Menurut BPPT, limbah minyak goreng (waste of vegetable oil) memiliki potensi sebagai alternatif energi bahan bakar nabati bisa menurunkan 100% emisi gas buangan Sulfur dan CO2 serta CO sampai dengan 50%, dan sekaligus mampu mengurangi pencemaran air, tanah, dan udara. Minyak jelantah berdampak positif daripada dibuang, karena minyak jelantah dapat mencemari lingkungan. Lebih parahnya, jika terjadi penggunaan lebih dari dua kali, maka minyak jelantah ini dapat menyebabkan penyakit kanker. Penyakit hipertensi dan kolesterol juga dapat terjadi akibat kandungan asam lemak jenuh yang tinggi dari minyak jelantah.

Minyak jelantah sendiri memiliki kadar karbondioksida yang seimbang sehingga memiliki kemungkinan kecil resiko meledak, walaupun ketika pembakaran tidak terkendali, api bisa langsung membesar. Namun, menurut BPPT, minyak jelantah dapat meledak jika suhunya mencapai lebih dari 300 derajat Celcius. Diharapkan BPPT, teknologi baru ini dapat dimanfaatkan oleh masyarakat nantinya di tengah kelangkaan elpiji dan harga minyak tanah yang melambung.

INTEL, Processor ramah lingkungan


Global warming dan isu lingkungan hidup lainnya saat ini menjadi sebuah faktor yang menjadi sorotan utama dalam semua riset yang dilakukan. Sebuah teknologi baru diharapkan tidak hanya membawa sebuah inovasi dan peningkatan efisiensi tetapi juga harus memiliki nilai tambah bahwa teknologi tersebut juga harus ramah terhadap lingkungan. Inilah yang disebut dengan Green Technology.

Intel Corp. sebagai vendor prosesor terbesar di dunia juga sangat concern terhadap permasalahan lingkungan hidup. Riset-riset yang dilakukan oleh Intel saat ini mengarah pada mendapatkan prosesor dengan performa tinggi dan juga ramah terhadap lingkungan. Saat ini Intel membuat sebuah inovasi baru, yaitu ditemukannya material Hi-K yang menggantikan SiO2 dapat meningkatkan performa prosesor. Selain itu prosesor sekarang lebih ramah lingkungan karena pemakaian bebas timbal.

Intel Corp. mengembangkan sebuah teknologi mikroprosesor baru dengan menggunakan material Hi-K, yaitu material dengan nilai konstanta dielektrik tinggi, dan bebas Pb (timbal). Konstanta dielektrik melambangkan rapatnya fluks elektrostatik dalam suatu material bila diberi potensial listrik. Konstanta dielektrik ini menjadi parameter dalam berbagai peralatan elektronik, terutama transistor. Semakin tinggi nilai K maka kapasitas transistor semakin besar. Sehingga ketika sedang off, arus yang masih keluar sangat sedikit sedangkan ketika sedang on, arus yang keluar sangat besar. Oleh karena itu, dengan material Hi-K maka kinerja prosesor akan semakin baik.

Kemudian timbal. timbal sudah lama digunakan dalam pembuatan prosesor sebagai paduan dalam proses soldering. Tetapi timbal merupakan salah satu logam berat dan material berbahaya yang dapat merugikan manusia dan merusak lingkungan hidup. Oleh karena itu penggunaan timbal tidak boleh terjadi sehingga perlu dicari solusi untuk mengatasi permasalahan timbal. Riset Intel Corp. menemukan pengganti timbal, yaitu tin – silver – copper solder (lead free). Adapun keunggulan material tersebut yaitu titik leburnya lebih tinggi dari timbal, yaitu 220oC, nilai kekuatan meningkat, dan juga ramah lingkungan. Oleh karena itu adanya Pb-free ini dapat meningkatkan performa dari sebuah prosesor dan juga ramah terhadap lingkungan. Teringat akan tujuan akhir teknologi, yaitu menyelamatkan kehidupan di bumi, bukan mempersingkat masa hidup bumi.

PBB membuka KTT iklim di Bali

Menghadapi pencairan lapisan salju di kutub dan dampaknya yang kian memburuk, para pakar iklim pada KTT Iklim PBB, Senin mendesak perlunya tindakan segera menuju sebuah pakta internasional baru untuk memangkas kenaikan suhu bumi yang menakutkan.

Tujuan utama pada KTT yang akan berlangsung selama dua minggu tersebut yang diikuti oleh delegasi hampir dari 190 negara di dunia akan berusaha membujuk Amerika Serikat untuk menyetujui pengurangan emisi karbon dioksida dan efek-efek rumah kaca lainnya.

Walaupun delegasi Amerika Serikat menyatakan tidak ada halangan untuk menandatangai perjanjian emisi, Washington tetap menolak untuk mendukung upaya banyak negara lain, seperti pengurangan emisi oleh negara-negara kaya dan berusaha membatasi peningkatan temperatur global.

Posisi Amerika Serikat agak terpojok hari Senin lalu ketika Perdana Menteri Australia yang baru, menandatangi ratifikasi pakta iklim Kyoto Protocol. Langkah ini membuat Amerika Serikat, pemasok utama efek-efek rumah kaca dan emisi gas menjadi satu-satunya negara yang tidak mau meratifikasi pakta iklim tersebut.


Pemimpin KTT Iklim mendesak para delegasi untuk segera memerangi perubahan iklim global.

"The eyes of the world are upon you. There is a huge responsibility for Bali to deliver," kata Yvo de Boer, Sekjen KTT Iklim. "The world now expects a quantum leap forward."


KTT Iklim di Bali akan mengawali global momentum untuk menarik action yang dramatis untuk menghentikan perubahan temperatur dunia (global warming) yang dikatakan para ilmuwan dapat berdampak tenggelamnya pantai dan pulau-pulau oleh samudra, melenyapkan spesies-spesies, menghancurkan pertumbuhan ekonomi dan memicu bencana alam.


KTT iklim Bali adalah KTT pertama sejak mantan wapres Amerika Serikat Al Gore (yang kan datang minggu depan) dan dewan ilmiah PBB memenangkan hadiah Nobel di bulan Oktober lalu untuk jasa-jasa mereka terhadap lingkungan hidup.


Tujuan jangka pendek adalah negosiasi menuju sebuah pakta baru untuk menggantikan Kyoto Protocol yang akan habis masa berlakunya pada tahun 2012, dan merencanakan agenda dan batas waktu untuk pembicaraan lebih lanjut. PBB mengharapkan protokol baru segera dibicarakan sebelum tahun 2009 agar dapat menggantikan protokol Kyoto pada waktunya.

27 Feb 2010

daur bromin dalam biogeokimia

UNIVERSITAS AMBUNG MANGKURAT
KIMIA LINGKUNGAN
DAUR BROMIN DALAM BIOGEOKIMIA

ANSHARI AGUS FRAMANA
H1E109044

TEKNIK LINGKUNGAN 2009





BROMIN

Nomor atom (Z) : 35
Konfigurasi elektron : [Ar]3d¹⁰4s²4p⁵
Massa atom : 80
Wujud zat : cair
Warna : Merah kecoklatan
Titik beku (0C) : -7
Titik didih (0C) : 59
Kerapatan (g/cm3) : 3,12
Kelarutan dalam air (g/ml) : 42
Energi pengionan pertama (kJ/mol) : 1140
Afinitas elektron (kJ/mol) : -325
Keelektronegatifan (skala Pauling) : 2,8
Potensial reduksi standar (volt)
X2 + 2e- 2X- : 1,06
Jari-jari atom (pm) : 115
Jari-jari kovalen (Å) : 1,14
Jari-jari ion (X-) (Å) : 1,82
Energi ikatan X-X (kJ/mol) : 193

1. sejarah bromin
Ditemukan oleh Balard pada tahun 1826, tapi belum dapat dipisahkan secara kuantitatif hingga 1860. Brom (Yunani: βρωμος, brómos), adalah unsur kimia pada tabel periodik yang memiliki simbol Br dan nomor atom 35. Unsur dari deret kimia halogen ini berbentuk cairan berwarna merah pada suhu kamar dan memiliki reaktivitas di antara klor dan yodium. Dalam bentuk cairan, zat ini bersifat korosif terhadap jaringan sel manusia dan uapnya menyebabkan iritasi pada mata dan tenggorokan. Dalam bentuk gas, brom bersifat toksik.

2. Sifat-sifat bromin
Brom adalah satu-satunya unsur cair non logam. Sifatnya berat, mudah bergerak, cairan berwarna coklat kemerahan, mudah menguap pada suhu kamar menjadi uap merah dengan bau yang sangat tajam., menyerupai klor, dan memiliki efek iritasi pada mata dan tenggorokan. Brom mudah larut dalam air atau karbon disulfida, membentuk larutan berwarna merah, tidak sekuat klor tapi lebih kuat dari iod. Dapat bersenyawa dengan banyak unsur dan memiliki efek pemutih. Ketika brom tumpah ke kulit, akan menimbulkan rasa yang amat pedih. Brom mengakibatkan bahaya kesehatan yang serius, dan peralatan keselamatan kerja harus diperhatikan selama menanganinya.
Banyak brom yang dihasilkan Amerika Serikat digunakan dalam produksi etilen dibromida, komponen pembuatan bensin bersenyawa timbal yang anti-ketukan. Namun karena timbal dalam bensin merusak lingkungan, berarti hal ini akan mempenngaruhi produksi brom di masa yang akan datang.

3. Fungsi bromin
Brom digunakan untuk desinfektan, zat tahan api, senyawa pemurni air, pewarna, obat, pembersih sanitasi, bromida anorganik untuk fotografi (Perak bromida (AgBr)) dan lain-lain. Bromida organik juga sama pentingnya.
Kegunaannya yang lain di antaranya : Natrium bromida (NaBr) sebagai obat penenang saraf, Metil bromida (CH3Br) zat pemadam kebakaran, dan Etilen dibromida (C2H4Br2) ditambahkan pada bensin untuk mengubah Pb menjadi PbBr2 .

4. Adisi elektrofilik bromin pada propena
Seperti halnya semua alkena yang lain, propena bereaksi pada suhu biasa dengan bromin cair murni, atau dengan larutan bromin dalam sebuah pelarut organik seperti tetraklorometana. Ikatan rangkap terputus, dan sebuah atom brmin menjadi terikat ke masing-masing atom karbon. Bromin kehilangan warna aslinya (merah-coklat) menjadi cairan tidak berwarna. Untuk reaksi dengan propena, terbentuk 1,2-dibromopropana.

Halogen-halogen lain, kecuali fluor, berperilaku serupa. (Fluor bereaksi eksplosif dengan semua hidrokarbon – termasuk alkena – menghasilkan karbon dan hidrogen fluorida).

5. Mekanisme reaksi antara propena dan bromin
Bromin sebagai sebuah elektrofil
Bromin adalah sebuah molekul yang sangat “terpolarisasikan” dan ikatan pi dalam propena yang mendekat akan menginduksi sebuah dipol dalam molekul bromin tersebut. Jika anda menggambarkan mekanisme ini dalam ujian, tuliskan kata-kata “dipol terinduksi” di samping molekul bromin.
Persamaan sederhana dari mekanisme ini adalah sebagai berikut:

Persamaan mekanisme yang lebih akurat
Pada tahap pertama reaksi, salah satu dari dua atom bromin menjadi terikat pada kedua atom karbon, dengan muatan positif ditemukan pada atom bromin. Ion bromonium terbentuk.

Ion bromonium selanjutnya diserang dari belakang oleh sebuah ion bromida yang terbentuk pada sebuah reaksi dekat.




Definisi dan Fungsi Daur Biogeokimia
Definisi
Biogeokimia adalah pertukaran atau perubahan yang terus menerus, antara komponen biosfer yang hidup dengan tak hidup.
Dalam suatu ekosistem, materi pada setiap tingkat trofik tidak hilang. Materi berupa unsur-unsur penyusun bahan organik tersebut didaur-ulang. Unsur-unsur tersebut masuk ke dalam komponen biotik melalui udara, tanah, dan air. Daur ulang materi tersebut melibatkan makhluk hidup dan batuan (geofisik) sehingga disebut Daur Biogeokimia.
Fungsi
Fungsi Daur Biogeokimia adalah sebagai siklus materi yang mengembalikan semua unsur-unsur kimia yang sudah terpakai oleh semua yang ada di bumi baik komponen biotik maupun komponen abiotik, sehingga kelangsungan hidup di bumi dapat terjaga.

PENIPISAN LAPISAN OZON
Ozon di lapisan atas (lapisan stratosfer), terbentuk secara alami, dan melindungi bumi. Namun zat kimia buatan manusia telah merusak lapisan tersebut, sehingga menimbulkan penipisan lapisan ozon.
Zat kimia itu dikenal dengan ODS (ozone-depleting substances), diantaranya chlorofluorocarbons (CFCs), hydrochlorofluorocarbons (HCFCs), halons, methyl bromide, carbon tetrachloride, dan methyl chloroform. Zat perusak ozon tersebut sebagian masih digunakan sebagai bahan pendingin (coolants), foaming agents, pemadam kebakaran (fire extinguishers), pelarut (solvents), pestisida (pesticides), dan aerosol propellants.
Kloroflorokarbon atau Chlorofluorocarbon (CFC) mengandung klorin (chlorine), florin (fluorine) dan karbon (carbon). CFC ini merupakan aktor utama penipisan lapisan ozon. CFCs sangat stabil di troposfer. CFCs yang paling umum adalah CFC-11, CFC-12, CFC-113, CFC-114, dan CFC-115. Potensi merusak ozon dari CFC tersebut secara berurutan adalah 1, 1, 0.8, 1, dan 0.6.
Di udara, zat ODS tersebut terdegradasi dengan sangat lambat. Bentuk utuh mereka dapat bertahan sampai bertahun-tahun dan mereka bergerak melampaui troposfer dan mencapai stratosfer. Di stratosfer, akibat intensitas sinar ultraviolet matahari, mereka pecah, dan melepaskan molekul chlorine dan bromine, yang dapat merusak lapisan ozon. Para peneliti memperkirakan satu atom chlorine dapat merusak 100.000 molekul ozon.
Walaupun saat ini zat kimia perusak lapisan ozon telah dikurangi atau dihilangkan penggunaannya, namun penggunaannya di waktu yang lampau masih dapat berdampak pada perusakan lapisan ozon. Penipisan lapisan ozon dapat diteliti dengan menggunakan satelit pengukuran, terutama di atas kutub bumi.
Penipisan lapisan ozon pelindung akan meningkatkan jumlah radiasi matahari ke bumi yang dapat menyebabkan banyak kasus kanker kulit, katarak, dan pelemahan sistem daya tahan tubuh. Terkena UV berlebihan juga dapat menyebabkan peningkatan penyakit melanoma, kanker kulit yang fatal. Menurut US EPA, sejak 1990, resiko terkena melanoma telah berlipat dua kali.
Ultraviolet dapat juga merusak tanaman sensitif, seperti kacang kedelai, dan mengurangi hasil panen. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa fitoplankton di laut, yang merupakan basis rantai makanan di laut, telah mengalami tekanan akibat ultraviolet. Tekanan ini dapat berdampak pada manusia berupa terpengaruhinya pasokan makanan dari laut.

22 Feb 2010

tugas kelompok, resmi kimia lingkungan (Nopi Stiyati Prihatini, S.Si, MT) 21 februari 2010

PENCEMARAN ORGANOKLORIN


Dosen Pembimbing
NOPI STIYATI PRIHATINI, S.Si, M.T


OLEH :
Anshari Agus Framana H1E 109044
Hijratus Syaripah H1E 109011
Janette Debora Toewan H1E 109059
Muhammad Ajrin H1E 109066


DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI S1 TEKNIK LINGKUNGAN
2010











BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Kontaminasi organochlorine universal telah terlibat dalam regional dan global epidemi penyakit pada manusia dan satwa liar, termasuk gangguan reproduksi, pengembangan, fungsi kekebalan dan perilaku. Inilah memperkuat fakta bahwa organoklorin menimbulkan ancaman serius bagi kesehatan manusia dan lingkungan.

Pestisida organoklorin telah menyebabkan masalah yang serius karena kestabilan kimianya yang tinggi. Sebagian organoklorin sukar diuraikan, lantas mengakibatkan masalah pencemaran dan penumpukan dalam sistem akuatik, rantai makanan dan manusia.

1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini yaitu :
  1. Memberikan penyampaian tentang Organoklorin.
  2. Memahami lebih dalam tentang pengertian, ciri-ciri, struktur aplikasi, tingkat ketoksisitasannya, serta pengaruhnya terhadap kesehatan dan lingkungan.

1.3 Batasan Masalah
Agar penulisan ini lebih terarah dan memberikan pembahasan yang lebih rinci maka dibuat batasan studi yang tidak mengurangi sasaran studi. Batasan yang digunakan adalah sebagai berikut :
  1. Pengertian umum Organoklorin.
  2. Tingkat ketoksisitasan Organoklorin.
  3. Sejarah perkembangan Organoklorin sejak awal muculnya sampai dihentikannya produksi Organoklorin.
  4. Dampaknya terhadap kesehatan Manusia dan pencemaran Lingkungan.
  5. Pencemaran Senyawa Organoklorin Jenis PCBs dan DDT.


BAB II
A. ORGANOCHLORINE

Sebuah organochloride, organochlorine, chlorocarbon, diklorinasi hidrokarbon, atau diklorinasi pelarut adalah senyawa organik yang mengandung setidaknya satu kovalen klorin atom. Struktural lebar mereka beragam dan berbeda sifat kimia mengarah ke berbagai aplikasi. Banyak derivatif yang kontroversial karena efek dari senyawa ini pada lingkungan.

2.1 CIRI – CIRI FISIK
Klorida substituen memodifikasi sifat fisik senyawa organik dalam beberapa cara. Mereka biasanya lebih padat daripada air karena kehadiran atom tinggi klorin. Substituen klorida interaksi antarmolekul menyebabkan lebih kuat dari hidrogen substituen. Efek ini diilustrasikan oleh tren dalam titik didih: metana (-161,6° C), metil klorida (-24,2° C), diklorometana (40° C), kloroform (61.2° C), dan karbon tetraklorida (76,72° C). Peningkatan interaksi antarmolekul tersebut diberikan untuk efek kedua van der Waals dan polaritas.

2.2 KEBERADAAN ALAMI
Meskipun jarang terjadi dibandingkan dengan non-halogen senyawa organik, banyak organochlorine senyawa telah diisolasi dari sumber alami mulai dari bakteri ke manusia. Diklorinasi senyawa organik dapat ditemukan di hampir setiap kelas dari biomolekul termasuk alkaloid, terpene, asam amino, flavonoid, steroid, dan asam lemak.

Organochlorides, termasuk dioxin, yang dihasilkan dalam lingkungan suhu tinggi kebakaran hutan, dan dioksin telah ditemukan dalam abu diawetkan memicu petir-api yang ada sebelum sintetis dioksin. Selain itu, berbagai hidrokarbon diklorinasi sederhana termasuk diklorometana, kloroform, dan karbon tetraklorida telah diisolasi dari ganggang laut.

Sebagian besar dari chloromethane dalam lingkungan yang diproduksi secara alami oleh dekomposisi biologis, kebakaran hutan, dan gunung berapi. Alam organochloride epibatidine, sebuah alkaloid terisolasi dari pohon katak, telah ampuh analgesik efek dan telah mendorong penelitian menjadi obat penghilang rasa sakit baru.

DARI KLORIN
Alkana dan arylalkanes dapat diklorinasi di bawah kondisi radikal bebas, dengan sinar UV. Namun, tingkat klorinasi sulit dikendalikan. Aril klorida dapat disiapkan oleh Friedel-Crafts halogenation, menggunakan klorin dan asam Lewis katalis. Haloform reaksi, menggunakan klorin dan natrium hidroksida, juga mampu menghasilkan bentuk alkil halida metil keton, dan senyawa terkait. Kloroform demikian dihasilkan sebelumnya. Klorin menambah beberapa obligasi pada alkena dan alkuna juga, memberi di-atau tetra-chloro senyawa.
a) REAKSI DENGAN HIDROGEN KLORIDA
Alkena bereaksi dengan hidrogen klorida untuk memberikan alkil klorida:


Alkohol sekunder dan tersier bereaksi dengan reagen Lucas (seng klorida dalam konsentrasi asam klorida) untuk memberikan sesuai alkil halida; reaksi ini metode untuk mengklasifikasikan alkohol:


b) DARI AGEN KLOR LAIN
Alkil klorida yang paling mudah disiapkan oleh alkohol bereaksi dengan klorida thionyl ( ), fosfor triklorida ( ), dan fosfor pentaklorida ( ):




Di laboratorium, terutama thionyl klorida nyaman, karena merupakan produk samping gas atau, reaksi Appel.


2.3 REAKSI
Alkil klorida adalah gedung serbaguna blok dalam kimia organik. Sementara alkil bromida dan iodida lebih reaktif, alkil klorida cenderung lebih murah dan lebih mudah tersedia. Alkil klorida mudah mengalami serangan oleh nukleofil.

Pemanasan alkil halida dengan natrium hidroksida atau air memberikan alkohol. Reaksi dengan alkoxides atau aroxides memberikan eter dalam sintesis eter Williamson; reaksi dengan thiols memberikan thioethers. Alkil klorida mudah bereaksi dengan amina untuk memberikan diganti amina. Alkil klorida diganti oleh halida lebih lembut seperti iodida dalam reaksi Finkelstein.

Reaksi dengan pseudohalida seperti azida, sianida, dan tiosianat yang mungkin juga. Dengan keberadaan basa kuat, alkil klorida mengalami dehydrohalogenation untuk memberikan alkena atau alkuna.

Alkil klorida bereaksi dengan magnesium untuk memberikan reagen Grignard, mengubah sebuah elektrofilik senyawa menjadi nukleofilik senyawa. Para Reaksi Wurtz pasangan reductively dua alkil halida untuk pasangan dengan natrium.

2.4 APLIKASI
• Vinil klorid
Penerapan terbesar adalah organochlorine kimia produksi vinil klorida, pendahulu PVC. Dengan produksi tahunan pada tahun 1985 sekitar 13 miliar kilogram, hampir semua yang diubah menjadi polyvinylchloride.

• Chloromethanes
Kebanyakan berat molekul rendah diklorinasi hidrokarbon seperti kloroform, diklorometana, dichloroethene, dan trichloroethane berguna pelarut. Pelarut ini cenderung relatif non-polar; mereka sehingga tidak bercampur dengan air dan efektif dalam aplikasi seperti membersihkan degreasing dan dry cleaning. Beberapa miliar kilogram methanes diklorinasi diproduksi setiap tahun, terutama oleh klorinasi metana.

Yang paling penting adalah diklorometana, yang terutama digunakan sebagai pelarut. Chloromethane adalah pendahulu untuk chlorosilanes dan Silikon. Historis signifikan, namun dalam skala yang lebih kecil adalah kloroform, terutama yang pendahulu chlorodifluoromethane ( ) dan tetrafluoroethene yang digunakan dalam pembuatan Teflon.

• Pestisida
Banyak pestisida mengandung klorin. Contoh terkenal termasuk DDT, dicofol, heptachlor, endosulfan, Chlordane, aldrin, dieldrin, endrin, mirex, dan pentachlorophenol. Ini dapat berupa hidrofilik atau hidrofobik tergantung pada struktur molekul mereka. Banyak dari agen ini telah dilarang di berbagai negara, misalnya mirex, aldrin.

Poliklorinasi bifenil (PCB) yang umum digunakan sekali insulator listrik dan agen perpindahan panas. Mereka menggunakan secara umum telah dihapus karena masalah kesehatan. PCB digantikan oleh polybrominated difenil eter ( ), yang membawa racun yang serupa dan bioaccumulation keprihatinan.

2.5 TOKSISITAS
Beberapa jenis toksisitas organochlorides telah signifikan untuk tanaman atau hewan, termasuk manusia. Dioxin, bahan organik dihasilkan ketika dibakar di hadapan klorin, dan beberapa insektisida seperti DDT adalah polutan organik yang menimbulkan bahaya ketika mereka dilepaskan ke lingkungan. Sebagai contoh, DDT, yang secara luas digunakan untuk mengendalikan serangga di pertengahan abad ke-20, juga terakumulasi dalam rantai makanan perairan. Karena tubuh tidak dapat memecah atau buang itu, dan kalsium mengganggu metabolisme pada burung, ada parah penurunan populasi beberapa burung pemangsa.
Ketika diklorinasi pelarut, seperti karbon tetraklorida, tidak dibuang dengan benar, mereka menumpuk di tanah. Beberapa sangat reaktif organochlorides seperti phosgene bahkan telah digunakan sebagai agen perang kimia.

Namun, keberadaan klorin dalam senyawa organik tidak menjamin toksisitas. Banyak organochlorides cukup aman untuk dikonsumsi dalam makanan dan obat-obatan. Misalnya, kacang polong dan kacang-kacangan luas berisi hormon tanaman diklorinasi alam 4-chloroindole-3-asam asetat (4-Cl-IAA); dan pemanis sucralose (Splenda) secara luas digunakan dalam produk makanan. Sejak 2004, sedikitnya ada 165 organochlorides disetujui di seluruh dunia untuk digunakan sebagai obat-obatan farmasi, termasuk antibiotik alami vankomisin, yang antihistamin loratadine (Claritin), antidepresi sertraline (Zoloft), anti-epilepsi lamotrigine (lamictal), dan inhalasi anestesi isoflurane.

Rachel Carson membawa isu toksisitas pestisida DDT kesadaran publik dengan buku 1962 Silent Spring. Meskipun banyak negara telah dihapus penggunaan beberapa jenis organochlorides seperti larangan AS DDT, gigih DDT, PCB, dan lain residu terus organochloride ditemukan pada manusia dan mamalia di seluruh planet bertahun-tahun setelah produksi dan penggunaan telah terbatas . Di Arktik daerah, khususnya tingkat tinggi ditemukan di mamalia laut. Bahan kimia ini berkonsentrasi pada mamalia, dan bahkan ditemukan dalam air susu manusia. Laki-laki biasanya memiliki tingkat jauh lebih tinggi, sebagai perempuan mengurangi konsentrasi dengan transfer ke keturunannya melalui menyusui.


B. Pencemaran Organochlorine

Organoklorin merupakan bahan kimia yang mengandung karbon dan klorin. Banyak organoklorin yang berbahaya karena mereka tidak rusak dengan mudah. Ini berarti mereka tinggal di lingkungan dan tubuh kita untuk waktu yang lama. Mereka dapat terkonsentrasi dalam rantai makanan sehingga hewan-hewan di bagian atas rantai makanan, seperti manusia, akan memiliki tingkat tertinggi. Ada 12 organoklorin terdaftar sebagai POP (bertahan polutan organik).

Organoklorin adalah membentuk uap dan dapat dibawa oleh udara untuk jarak jauh. Akhirnya, mereka mengembun dan didepositkan di daratan atau dilarutkan dalam air. Contoh pestisida organoklorin yang sering digunakan dalam kehidupan;
• Aldrin
• Dieldrin dicofol
• Endosulfan
• Endrin chlordane
• DDT
• Heptaklor
• Lindane
• Benzane hexacloride (BHC)

Contoh di atas dapat digolongkan sebagai senyawa aktif yang terkandung pada jenis-jenis pestisida organoklorin dengan toksisitas yang berbeda. Sedangkan sifat umumnya adalah kelarutan rendah dalam air, lipofilitas tinggi, persisten dalam lingkungan alamiah, terbioakumulasi dalam makhluk hidup dan terbiomagnifikasi melalui rantai makanan. Berdasarkan Toksisitasnya dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Sangat toksik : aldrin, endosulfan, dieldrin
2. toksik sederhana : Clordane, DDT,lindane, heptaklor
3. kurang toksik : Benzane hexacloride (BHC)

Organoklorin yang telah digunakan termasuk dioxin, poliklorinasi bifenil (PCB), pentachlorophenol (PCP), dieldrin dan dichloro-diphenil-trichloroethane (DDT). PCB dan PCP bersifat racun dalam hak mereka sendiri tetapi keduanya juga mengandung dioksin.
Organoklorin telah digunakan sebagai insektisida seperti domba dieldrin mencelupkan, PCP telah digunakan dalam merawat kayu, dan semprotan DDT telah digunakan di lahan pertanian dan di rumah. Penggunaan pestisida organochlorine dibatasi oleh serangkaian undang-undang sehingga, pada pertengahan 1970-an, mereka tidak sedang digunakan dalam pertanian dan hortikultura.
Dioxin adalah organochlorine namun tidak dibuat sebagai adalah PCB, PCP, dieldrin dan DDT. Hal ini dihasilkan ketika bahan organik dibakar di hadapan klorin. Pembakaran limbah, klorin pemutihan pulp dan kertas, dan beberapa proses industri semua dapat menciptakan dioksin dalam jumlah kecil. Mereka mungkin juga dapat terbentuk dari sumber-sumber alam seperti kebakaran hutan.
Kebanyakan dioksin melarikan diri ke lingkungan dari emisi udara. Dioksin dapat tinggal di udara untuk waktu yang lama dan dibawa jarak yang sangat jauh sebelum menetap di tanah atau air. Jika dioksin pastoral menetap di tanah, mereka mungkin diambil oleh binatang pemakan rumput dan hewan yang tersimpan dalam daging dan susu. Dioxin juga dapat memasukkan sungai kami, danau dan muara di limbah lucutan, di mana mereka dapat diambil oleh ikan dan kerang. Lebih dari 90 persen terpapar dioksin kita berasal dari makan daging, produk susu dan ikan. Bayi juga dapat terpapar dioxin yang telah terkumpul di dalam air susu ibu.

Pencemaran Organoklorin di Laut
Laut mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam, selain kandungan hayati lautnya, laut juga memiliki kekayaan bahan non-organik seperti mineral-mineral, minyak bumi dan bahan-bahan tambang lainnya. Bahan-bahan tersebut terbentuk melalui proses geologi, fisika, kimia dan biologi yang tidak hanya terjadi di lautan, tetapi juga melibatkan daratan. Misalnya, material letusan gunung berapi yang terjatuh sampai di laut, atau kikisan material dari darat yang terbawa oleh air sungai. Dengan demikian, mineral-mineral di lautan memiliki distribusi yang luas.
Terjadinya pencemaran di laut tidak lepas dari masuknya mineral – mineral yang terbawa melaluai run off atau aliran sungai yang membawa berbagai macam logam berat. Ancaman juga datang dari pencemaran limbah industri, terutama logam dan senyawa organoklorin. Dua jenis bahan berbahaya ini mengakibatkan terjadinya akumulasi (penumpukan kandungan) logam berat padang melalui proses yang disebut magnifikasi biologis. Persis seperti penumpukan kandungan merkuri yang menimpa kerang.

Organoklorin Pada Bulu Walet Sarang Putih
Hasil penelitian di Yogjakarta mengenai kandungan organoklorin pada sampel berupa bulu walet sarang putih menunjukkan bahwa 10% sampel (n=10) mengandung heptaklor dan 40% sampel (n=10) mengandung pp-DDD. Kandungan heptaklor pada bulu walet sarang putih berkisar antara 0 sampai 0,5855 ppm dan pp-DDD berkisar antara 0 sampai 0,0929 ppm.
Heptaklor yang terdapat pada bulu walet sarang putih adalah epoxide heptaklor yang terakumulasi dalam jaringan lemak pada ikan dan burung, bahkan dapat ditemukan pula pada hati, otot dan telur burung. Selain heptaklor, pada bulu mengandung pp-DDD (hasil degradasi yang diturunkan dari dehidroklorinasi biologis dan deklorinasi reduktif DDT) (Connell & Miller (1995). Senyawa pp-DDD bersifat stabil dan aktif secara biologis.
Variasi jenis dan jumlah organoklorin pada bulu walet sarang putih disebabkan karena dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah perbedaan daerah jelajah masing-masing walet sarang putih yang ditangkap. Menurut Mardiastuti et.al., (1998), daerah jelajah walet sarang putih berkisar antara 25 sampai 40 km. Dengan demikian, semakin jauh daerah jelajah walet sarang putih maka kemungkinan mengalami kontak dengan insektisida semakin besar.
Kemungkinan kedua adalah perbedaan usia masing-masing walet sarang putih yang ditangkap. Hal ini terlihat pada variasi ukuran tubuh walet sarang putih saat pengamatan di lapangan dan variasi berat sampel bulu walet sarang putih yang ditangkap. Rata-rata ketahanan hidup walet sarang putih adalah 14 tahun (variasi 10 sampai 20 tahun), sedangkan daya tahan insektisida organoklorin pada jaringan hewan berkisar antara 3 sampai 5 tahun dan kemudian akan terus mengalami transformasi di dalam jaringan hewan dalam waktu 5 tahun (Hassal, 1990 ; Connell & Miller, 1995). Dengan demikian, semakin besar usia walet sarang putih maka kemungkinan akumulasi insektisida organoklorin dalam tubuhnya semakin tinggi.
Kandungan pp-DDD pada bulu walet dimungkinkan karena masih digunakan DDT. Penggunaan DDT dilarang oleh Pemerintah Indonesia sejak tahun 1973 (Untung, 1993), namun dijelaskan oleh Anonim (2000) dan Kusno (1994) bahwa DDT masih dianjurkan penggunaannya di sektor kesehatan hingga tahun 2000 untuk mengendalikan nyamuk malaria. Alasan larangan tersebut adalah karena sifat persistensinya yang sangat lama di tanah maupun di jaringan tanaman dan jaringan hewan. Hal tersebut dijelaskan Untung (1993) bahwa kurun waktu 17 tahun residu DDT dalam tanah masih 39%.
Selain DDT, sejak tahun 1990 penggunaan heptaklor dilarang oleh Pemerintah Indonesia (Untung 1993 ; Anonim 2001a), sedangkan oleh Pemerintah Amerika Serikat heptaklor dilarang sejak tahun 1983 (Peterle, 1991).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kisaran kandungan heptaklor pada bulu walet sarang putih antara 0 sampai 0,5855 ppm dan pp-DDD antara 0 sampai 0,0929 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat 0,5855 mg heptaklor dalam 1 kg bulu walet sarang putih dan 0,0929 mg pp-DDD dalam 1 kg bulu walet sarang putih.

Organoklorin dan Kanker Payudara \
Beberapa baris bukti menunjukkan bahwa organoklorin berkontribusi terhadap kanker payudara di populasi umum. Bukti eksperimental. Ratusan organoklorin telah terbukti menyebabkan kanker pada hewan laboratorium dan / atau manusia. Dari ribuan yang belum diuji, setidaknya beberapa kemungkinan besar akan berubah menjadi karsinogenik.
Setidaknya 16 organoklorin atau kelompok organoklorin telah ditemukan secara khusus menyebabkan kanker payudara di laboratorium hewan, walaupun hanya sedikit telah diuji untuk efek ini. Beberapa adalah pestisida, seperti DDT, aldrin, dieldrin, dan Chlordane-yang telah dibatasi tetapi tetap Common kontaminan lingkungan hidup dan masih digunakan di negara-negara lain. Tapi organoklorin lain diidentifikasi sebagai karsinogen mammae masih umum digunakan, termasuk yang berikut:
 Atrazine: salah satu yang paling banyak digunakan herbisida di Amerika Utara dan Eropa dan kontaminan yang sangat umum air tanah dan air permukaan;
 Vinyl chloride, ethylene dichloride, dan vinyledene klorida: bahan baku untuk plastik Common polyvinyl chloride (PVC, atau vinil) dan polyvinylidene klorida (Saran wrap);
 Metilena klorida: pelarut yang umum dan cat-penari telanjang;
 Dichlorobenzidines, dichloropropane dan Trichloro-propana: intermediet yang digunakan dalam industri kimia untuk memproduksi pewarna dan bahan kimia lainnya.

Sebagian besar organoklorin belum diuji untuk membuktikan besar pengaruhnya terhadap kanker payudara, tetapi kemungkinan bahwa beberapa di antaranya, khususnya mereka yang secara struktural atau toxicologically serupa dengan yang sudah diidentifikasi sebagai karsinogen mammae, ternyata akan menyebabkan efek yang sama.
• Mekanisme biologis. Penelitian terbaru perilaku organoklorin dalam tubuh menunjukkan bagaimana bahan kimia ini dapat berkontribusi untuk kanker payudara pada manusia. Organoklorin telah terbukti menimbulkan mutasi genetik, menekan sistem kekebalan tubuh, dan mengganggu kontrol alami tubuh pada pertumbuhan sel dan replikasi. Beberapa organoklorin yang dikenal sebagai "hormon aktif": mereka meniru atau sebaliknya mengganggu tindakan alami alami tubuh hormon seks, termasuk estrogen. Karena estrogen adalah faktor risiko untuk kanker payudara, zat kimia yang bertindak seperti estrogen juga cenderung meningkatkan risiko penyakit. Paparan bahan kimia ini selama masa dewasa dapat menyebabkan estrogen-seperti efek dan mempromosikan kanker payudara. Dan dalam rahim paparan hormon bahan kimia aktif seumur hidup dapat menyebabkan perubahan dalam sistem endokrin yang dapat menyebabkan risiko kanker payudara bertahun-tahun kemudian.
• Kanker payudara pada wanita dengan eksposur yang tinggi. Perempuan terpapar lebih tinggi dari tingkat normal sintetis kimia-termasuk organoklorin-telah ditemukan memiliki tingkat tinggi secara signifikan kanker payudara. Kelompok-kelompok ini termasuk wanita pekerja industri kimia terpapar dioxin, perempuan yang tinggal di dekat lokasi limbah berbahaya, wanita ahli kimia, dan perempuan pekerja terkena diklorinasi dan non-diklorinasi pelarut.
• Studi jaringan. Penelitian baru yang penting terhubung organoklorin risiko kanker payudara di kalangan wanita dari populasi umum-mereka yang tidak biasa eksposur kimia. Beberapa studi telah menemukan hubungan antara tingkat organoklorin tertentu dalam darah wanita, lemak, atau jaringan payudara dan risiko kanker payudara. Perempuan dengan konsentrasi tertinggi organochlorine tertentu pestisida dalam tubuh mereka telah ditemukan memiliki risiko kanker payudara 4-10 kali lebih tinggi daripada perempuan dengan tingkat yang lebih rendah. Jika penelitian masa depan menegaskan bahwa efek dari bahan kimia ini memang yang kuat, organoklorin akan menjadi di antara yang paling penting faktor risiko kanker payudara yang pernah diidentifikasi.
• Kasus Israel. Di Israel, kebijakan nasional untuk melarang organoklorin tampaknya telah membantu mengurangi tingkat kanker payudara. Hingga pertengahan 1970-an, baik tingkat kanker payudara dan tingkat kontaminasi oleh beberapa organochlorine pestisida termasuk di antara yang paling tinggi di dunia. Setelah tahap yang agresif-program dari orang-orang kimia, tingkat kontaminasi jatuh ke tingkat yang ditemukan di negara-negara lain, dan kanker payudara kematian segera diikuti, jatuh ke tingkat yang sama dengan yang di negara-negara lain. Penurunan ini, yang disebarkan di seluruh kelompok usia dalam "dosis-respons" pola, adalah terutama penting, mengingat peningkatan pesat kanker payudara yang terjadi di negara-negara lain selama periode yang sama. Selanjutnya, semua makanan dan faktor risiko reproduksi di Israel benar-benar semakin memburuk selama periode yang bersangkutan.
• Terkait efek pada orang dan satwa liar. Bukti yang muncul menyangkut kontaminasi organochlorine global dalam array efek kesehatan lain di antara manusia dan satwa liar. Saat ini tingkat kontaminan dalam kisaran di mana gangguan hormonal dan efek lain diketahui terjadi. Paparan senyawa ini telah dikaitkan dengan ketidaksuburan, kegagalan reproduksi, gangguan perkembangan, penekanan kekebalan tubuh, dan kemungkinan kanker lainnya kanker testis-terutama-di kalangan mamalia laut, spesies lain ikan dan satwa liar, dan manusia. Jika tingkat lingkungan organoklorin yang cukup tinggi untuk menyebabkan efek ini, adalah masuk akal bahwa mereka juga cukup tinggi menyebabkan kanker payudara.
• Kecenderungan di tingkat insiden kanker payudara konsisten dengan meningkatnya kontaminasi oleh organoklorin. Negara-negara industri, dengan lebih parah polusi, juga cenderung memiliki kanker payudara lebih tinggi daripada kurang tingkat negara-negara industri.

a. Bahan pencemar senyawa organoklorin jenis PCBs
Polikhorobiphenil (PCB) adalah suatu senyawa suatu senyawa organoklorin yang mempunyai sifat racun yang sama dengan peptisida dan mempunyai sifat yang persisten atau sukar di pecah dialam di alam.
Ciri-ciri PCBs sebagai berikut; dapat berbentuk cairan atau padat, tidak berwarna dan kuning muda. Disamping itu PCBs mudah menguap dan mungkin hadir sebagai uap air di udara dan tidak diketahui bau maupun rasanya. PCBs yang masuk ke lingkungan adalah dalam bentuk gabungan komponen individu chlorinated biphenyl, yang dikenal sebagai congener-congener artinya sama dengan tidak murni.
Menyadari pentingnya air sebagai media pembawa utama bahan-bahan kimia, maka OEDC kelompok expert untuk degradation dan accumulation mengrekomendasikan penggunaan ikan sebagai representative dari spesies hewan uji bioconcentration (Geyer et al.,1985).
Seperti sudah dijelaskan bahwa, untuk mengevaluasi potensial karakter PCBs di lingkungan serta senyawa-senyawa lainnya, yaitu dengan menggunakan karakteristik physicochemicalnya. Oleh karena kapasitas suatu bahan kimia untuk bioakumulasi secara umum tergantung pada besarnya konsekwensinya di lingkungan. Senyawa organochlorine seperti PCB, DDT dan BHC, merupakan bahan-bahan kimia yang lipophilic, sangat terkenal terakumulasi dalam jaringan tubuh hewan darat maupun air.

b. Bahan pencemar senyawa organoklorin jenis DDT
DDT (1,1,1- Tricloro-2,2-bis(clhorophenil)etane) merupakan insektisida sintetis khususnya dibidang pertanian. Sifatnya yang sangat berbahaya di lingkungan dan tahan lama di alam, maka senyawa ini di larang penggunaaannya. Tetapi penggunaannya masih terbatas hanya sebagai obat untuk nyamuk malaria diberbagai negara. DDT dapat mencapai ekosistem pesisir laut melalai berbagai rute seperti penggunaan secara langsung di permukaan air, kemudian secara tidak langsung melalui proses deposisi udara dari proses penguapan atau penguapan yang sudah mengendap di tanah, tanaman dan permukaan air, (Preston 1989).
Disamping itu sifat - sifat fisika dan kimia seperti daya larut yang rendah dalam air menyebabkan senyawa DDT mudah terikat dalam sedimen dasar dan terakumulasi dalam jaringan organisme.
Transportasi materi merupakan faktor penting keberadaan DDT di lingkungan dan hampir sebagian besar terdeposisi dan menghasilkan variabilitas konsentrasi DDT dan derivativennya di sediment, (Ouyang et al 2003;Hartwell, 2008). Berbagai sirkulasi air seperti aliran sungai dan arus pasang surut dapat mempengaruhi sebaran deposit yang dapat ditujukan oleh berbagai variasi komposisi ukuran sediment. Hal ini di sebabkan oleh fraksi halus sedimen umumnya memiliki residen time yang relatif lama di bandingkan dengan fraksi kasar seperti pasir.
Keberadaan DDT sangat umum di temukan di lingkungan perairan termasuk sedimen. Secara keseluruhan informasi diatas memberikan indikasi bahwa konsentrasi DDE lebih tinggi dari pada DDD yang berarti perubahan cenderung dalam kondisi aerobic.


c. Bioremediasi lingkungan tercemar pestisida
Dalam pengelolaannya, ketika pencemaran pestisida sudah terlanjur terjadi, alternatif pengolahan tanah terkontaminasi pestisida dapat dilakukan dengan pendekatan biologis (bioremediasi). Secara teknis perkembangan bioremediasi pestisida juga terkendala dengan kurang efektifnya agent biologis mendegradasi pestisida sebagai akibat dari ketersediaan biologis (bioavaibility) pestisida didalam tanah terbatas sehingga membatasi keberhasilan mikroba melakukan kontak dan mengurai pestisida target. Guna memperbaiki performa bioremediasi pestisida, keberhasilan proses yang berlangsung dapat tergantung pada :
1. Ketersediaan mikroorganisme agen bioremediasi,
2. Kondisi optimal bagi pertumbuhan dan aktifitas agen mikroba, dan
3. Peningkatan bioavaibilitas pestisida di tanah.

d. Mikroorganisme agent
Jenis jenis mikroorganisme lain yang sudah banyak diidentifikasi sebagai agent bioremediasi pestisida adalah Phanerochaete, Nocardia, Pseudomonas, Alcaligenes, Acinetobacter, dan Burkholderia. Dalam riset riset bioremediasi pestisida Phanerochaete chrysosporium dikenal mampu mendegradasi ragam pestisida seperti DDT, DDE, PCB, Chlordane, Lindane, Aldrine, Dieldrine dan lain sebagainya. Kendatipun tidak selalu ditemui disetiap jenis tanah dan tempat (kayu atau pohon yang lembab).

e. Peningkatan ketersediaan biologis pestisida di tanah.
Peran rumput laut dan/atau limbah hasil olahan rumput laut dalam kajian bioremediasi pestisida adalah sebagai penyumbang ion Na+ yang ditenggarai dapat meningkatkan dispersi tanah, kedua adanya senyawa senyawa organik terlarut pada rumput laut dapat meningkatkan kelarutan dari pestisida sehingga lebih dapat terakses oleh agent mikroba dan terakhir adanya kandungan asam alginit dan manitol yang dapat berperan sebagai agen pengikat (chelating) serta penggembur tanah. Penambahan rumput laut ataupun limbah rumput laut dalam proses bioremediasi tanah terkontaminasi pestisida dapat merubah sifat dari tanah. Rumput Laut dapat membantu penurunan konsentrasi pestisida (e.g. DDT) melalui mekanisme pelepasan ion ion anorganik seperti Na+, Ca+, Mg+, dan K+ dan material organik terlarut yang keluar dari ekstrak rumput laut (Kantachote et al., 2004).
Pestisida biasanya terikat dengan ikatan ikatan kimia dengan senyawa humus (humic substances) terlarut sehingga bioavaibilitasnya menjadi rendah. Lebih lanjut, peningkatan kation (ion ion bermuatan positif, +) anorganik dapat menyebabkan peningkatan ikatan ion ion pada tanah yang menyebabkan cross-linking material material humus dengan pestisida tergantikan oleh kation kation tadi setelah didahului dengan kondensasi humus. Hal tersebut dapat meningkatkan ketersediaan DDT secara biologis dalam tanah untuk dapat termanfaatkan atau paling tidak terlibatkan didalam suatu reaksi dimana agen biologis mikroorganisme aktif. Peningkatan degradasi pestisida dapat terjadi secara aerobik (adanya oksigen) dan anerobik (tidak adanya oksigen).



BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari hasil pembahasan yang dapat ditarik sebelumnya serta melihat dari tujuan awal penulisan, maka dapat diambil beberapa kesimpulan dari penulisan makalah “Pencemaran Organoklorin” ini, yaitu :
 Keberadaan organoklorin dapat menimbulkan bahaya serius terhadap kesehatan dan lingkungan.
 Sebuah fase-keluar dari produksi, penggunaan dan pembuangan bahan kimia tersebut ke lingkungan harus dimulai segera.
 Sebuah kebijakan kesehatan publik yang menekankan pencegahan penyakit harus mengarah pada kebijakan lingkungan yang melarang pembuangan lingkungan menyebabkan penyakit-bahan kimia, terutama organoklorin.

3.2 Saran
Mengingat kondisi yang ada saat ini, dimana seringkali kita menemukan masalah-masalah terhadap penggunaan Organoklorin yang menimbulkan dampak pada kesehatan manusia sampai pada pencemaran lingkungan, maka penulis menyarankan :
 Perlunya kesadaran diri dari masing-masing individu untuk lebih meningkatkan pengetahuannya akan penggunaan Organoklorin.
 Pemerintah harus membatasi dengan tegas produksi serta penggunaan Organoklorin
 Berusaha mengimbangi produksi bahan alami tanpa mengenyampingkannya.


tugas individu tidak resmi kimia lingkungan 21 februari 2010

Nama / NIM : Anshari Agus Framana / H1E109044

Prody : Teknik Lingkungan

Hari / Tanggal : Senin, 22 Februari 2010


1. Definisi serta konversi PPM (Part Per Million) dan PPB (Part Per Billion)

1.1 Definisi dan konversi PPM (Part Per Million)

PPM atau "Part per Million" atau "Bagian per Sejuta Bagian" dalam Bahasa Indonesia adalah satuan konsentrasi yang sering digunakan dalam cabang kimia analisa. Satuan ini digunakan untuk menunjukkan kandungan suatu senyawa dalam suatu larutan misalnya, kandungan garam dalam air laut, kandungan polutan dalam sungai, atau biasanya kandungan yodium dalam garam.

Konsentrasi ppm merupakan perbandingan antara berapa bagian senyawa dalam satu juta bagian suatu sistem.

ppm adalah satuan konsentrasi yang dinyatakan dalam satuan mg/Kg karena 1 Kg = 1.000.000 mg. Untuk satuan yang sering dipergunakan dalam larutan adalah mg/L, dengan ketentuan pelarutnya adalah air sebab dengan densitas air 1 g/mL maka 1 liter air memiliki massa 1 Kg. Contoh, kandungan Pb dalam air sungai adalah 40 ppm artinya dalam setiap 1 Kg air sungai terdapat 40 mg Pb. Kandungan karbon dalam baja adalah 3 ppm artinya dalam 1 Kg baja terdapat 3 mg karbon.

1.2 Definisi dan konversi PPB (Part Per Billion)

Bagian per miliar (ppb) adalah jumlah unit massa sebuah kontaminan per 1000 juta unit dari total massa. PPB digunakan untuk mengukur konsentrasi suatu kontaminan dalam tanah dan sedimen, dalam kasus 1 ppb = 1 μg/kg zat padat. Selain itu, ppb digunakan untuk menggambarkan konsentrasi kecil dalam air, di mana kasus 1 ppb adalah setara dengan 1 μg / L karena satu liter air beratnya kurang lebih 1.000.000 μg dan ppb juga sering digunakan untuk menggambarkan konsentrasi kontaminan di udara (sebagai fraksi volume), dalam kasus ini konversi ppb untuk μg/m 3 tergantung pada berat molekul dari kontaminan.

1 micro-g/L = 0.001 ppm

1 micro-g/m3 = 0.000001 juta ppm = 1 ppb (part per billion) dimana : 1 m3 = 1000 L


2. DDT (diklorodifeniltrikloroetana)

DDT (Dichloro Diphenyl Trichloroethane) adalah insektisida “tempo dulu” yang pernah disanjung “setinggi langit” karena jasa-jasanya dalam penanggulangan berbagai penyakit yang ditularkan vektor serangga. Tetapi kini penggunaan DDT di banyak negara di dunia terutama di Amerika Utara, Eropa Barat, dan juga di Indonesia telah dilarang.

Namun, karena persistensi DDT dalam lingkungan sangat lama, permasalahan DDT masih akan ber­lang­sung pada abad 21 sekarang ini. Adanya residu insektisida ini di tanah dan perairan dari penggunaan masa lalu dan adanya bahan DDT sisa yang belum digunakan dan masih tersimpan di gudang tempat penyimpanan di selurun dunia (termasuk di Indonesia) kini meng­hantui mahluk hidup di bumi. Bahan racun DDT sangat persisten (tahan lama, berpuluh-puluh tahun, bahkan mungkin sampai 100 tahun atau lebih) bertahan dalam lingkungan hidup sambil meracuni ekosistem tanpa dapat didegradasi secara fisik maupun biologis sehingga kini dan di masa mendatang kita masih terus mewaspadai akibat-akibat buruk yang diduga dapat ditimbulkan oleh keracunan DDT.

· Sifat kimiawi dan fisik DDT

Senyawa yang terdiri atas bentuk-bentuk isomer dari 1,1,1-trichloro-2,2-bis-(p-chlorophenyl) ethane yang secara awam disebut juga Dichoro Diphenyl Trichlorethane (DDT) diproduksi dengan mencampurkan chloralhydrate dengan chlorobenzene.

Sintesis DDT pertama dilakukan oleh Zeidler (1873) tetapi, sifat insektisidanya ditemukan oleh Dr. Paul Mueller (1939). Penggunaan DDT menjadi sangat populer selama Perang Dunia II, terutama untuk penanggulangan penyakit malaria, tifus dan berbagai penyakit lain yang ditularkan oleh nyamuk, lalat, dan kutu. Di India 1960, kematian oleh malaria mencapai 500.000 orang turun menjadi 1000 orang pada 1970. WHO memperkirakan bahwa DDT selama Perang Dunia II telah menyelamatkan sekitar 25 juta jiwa terutama dari ancaman malaria dan tifus sehingga Paul Mueller dianugerahi Nobel pada tahun 1948 dalam ilmu kedokteran dan fisiologi.

DDT adalah insektisida paling ampuh yang pernah ditemukan dan digunakan manusia dalam membunuh serangga tetapi juga paling berbahaya bagi umat manusia manusia sehingga dijuluki “The Most Famous and Infamous Insecticide”.

· Bahaya toksisitas DDT terhadap ekosistem

Rachel Carson (1962) dalam bukunya yang terkenal, ”Silenty Spring” menjuluki DDT sebagai obat yang membawa kematian bagi kehidupan di bumi. Demikian berbahayanya DDT bagi kehidupan di bumi sehingga atas rekomendasi EPA (Environmental Protection Agency) Amerika Serikat (1972) DDT dilarang digunakan terhitung 1 Januari 1973. Pengaruh buruk DDT terhadap lingkungan sudah mulai tampak sejak awal penggunaannya pada tahun 1940-an, dengan menurunnya populasi burung elang sampai hampir punah di Amerika Serikat. Dari pengamatan ternyata elang terkontaminasi DDT dari makanannya (terutama ikan sebagai mangsanya) yang tercemar. DDT menyebabkan cang­kang telur elang menjadi sangat rapuh sehingga rusak jika dieram. Dari segi bahayanya, oleh EPA DDT digolongkan dalam bahan racun PBT (persistent, bioaccumulative, and toxic) material.

Dua sifat buruk yang menyebabkan DDT sangat berbahaya terhadap lingkungan hidup adalah:

1. Sifat apolar DDT

DDT tidak larut dalam air tetapi sangat larut dalam lemak. Makin larut suatu insektisida dalam lemak (semakin lipofilik) semakin tinggi sifat apolarnya. Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab DDT sangat mudah menembus kulit.

2. Sifat DDT yang sangat stabil dan persisten

DDT sukar terurai sehingga cenderung bertahan dalam lingkungan hidup, masuk rantai makanan (foodchain) melalui bahan lemak jaringan mahluk hidup. Itu sebabnya DDT bersifat bioakumulatif dan biomagnifikatif karena sifatnya yang stabil dan persisten, DDT bertahan sangat lama di dalam tanah bahkan DDT dapat terikat dengan bahan organik dalam partikel tanah. Dalam ilmu lingkungan, DDT termasuk dalam urutan ke-3 dari polutan organik yang persisten (Persistent Organic Pollutants), yang memiliki sifat-sifat berikut:

a. Tak terdegradasi melalui fotolisis, biologis, maupun secara kimia.

b. Berhalogen (biasanya klor).

c. Daya larut dalam air sangat rendah.

d. Sangat larut dalam lemak.

e. Di udara dapat dipindahkan oleh angin melalui jarak jauh.

f. Bioakumulatif.

g. Biomagnifikatif (toksisitas meningkat sepanjang rantai makanan).

Di Amerika Serikat, DDT masih terdapat dalam tanah, air, dan udara. Kandungan DDT dalam tanah berkisar sekitar 0,18 sampai 5,86 parts per million (ppm), sedangkan sampel udara menunjukkan kandungan DDT 0.00001 sampai 1.56 mikrogram per meter kubik udara (ug/m3), dan di perairan (danau) kandungan DDT dan DDE pada taraf 0.001 mikrogram per liter (ug/L). Gejala keracunan akut pada manusia adalah sakit kepala, keletihan dan muntah. Efek keracunan kronis DDT adalah kerusakan sel-sel hati, ginjal, sistem saraf, sistem imunitas dan sistem reproduksi. Efek keracunan kronis pada unggas sangat jelas antara lain terjadinya penipisan cangkang telur dan demaskulinisasi

Sejak tidak digunakan lagi (1973) kandungan DDT dalam tanaman semakin menurun. Pada tahun 1981 rata-rata DDT dalam bahan makanan yang termakan oleh manusia adalah 32-6 mg/kg/hari, terbanyak dari umbi-umbian dan dedaunan. DDT ditemukan juga dalam daging, ikan dan unggas.

Walaupun di negara-negara maju (khususnya di Amerika Utara dan Eropa Barat) penggunaan DDT telah dilarang, di negara-negara berkembang terutama India, RRC dan negara-negara Afrika dan Amerika Selatan, DDT masih digunakan. Banyak negara telah mela­rang penggunaan DDT kecuali dalam keadaan darurat terutama jika muncul wabah penyakit seperti malaria, demam berdarah, dsb. Departeman Pertanian RI telah melarang penggunaan DDT di bidang pertanian sedangkan larangan penggunaan DDT di bidang kesehatan dilakukan pada tahun 1995. Komisi Pestisida RI juga sudah tidak memberi perijinan bagi pengunaan pestisida golongan hidrokarbon-berklor (chlorinated hydrocarbons) atau organoklorin (golongan insektisida di mana DDT termasuk).

· Permasalahan sekarang

Walaupun secara undang-undang telah dilarang, disinyalir DDT masih juga secara gelap digunakan karena keefektifannya dalam membunuh hama serangga. Demikian pula, banyaknya DDT yang masih tersimpan yang perlu dibinasakan tanpa membahayakan ekosistem manusia maupun kehidupan pada umumnya merupakan permasalahan bagi kita. Sebenarnya, bukan saja DDT yang memiliki daya racun serta persistensi yang demikian lamanya dapat bertahan di lingkungan hidup. Racun-racun POP lainnya yang juga perlu diwaspadai karena mungkin saja terdapat di tanah, udara maupun perairan di sekitar kita adalah aldrin, chlordane, dieldrin, endrin, heptachlor, mirex, toxaphene, hexachlorobenzene, PCB (polychlorinated biphenyls), dioxins dan furans.

Untuk mengeliminasi bahan racun biasanya berbagai cara dapat digunakan seperti secara termal, biologis atau kimia/fisik. Untuk Indonesia dipertimbangkan untuk mengadopsi cara stabilisasi/fiksasi karena dengan cara termal seperti insinerasi memerlukan biaya sangat tinggi. Prinsip stabilisasi/fiksasi adalah membuat racun tidak aktif/imobilisasi dengan enkapsulasi mikro dan makro sehingga DDT menjadi berkurang daya larutnya. Namun, permasalahan tetap masih ada karena DDT yang telah di-imobilisasi ini masih harus “dibuang” sebagai landfill di tempat yang “aman”.

3. Penyebab Pemanasan Global atau Global Warming

Matahari adalah sumber kehidupan bumi satu-satunya. Tanpa Matahari, kita sudah punah, tetapi kalau matahari memancarkan panas yang lebih dari biasanya, kita juga akan terbakar dan kena radiasi. Sinar matahari yang baik adalah yang seimbang, yang menyinari bumi sama dengan yang dilepas dari bumi. Bila jumlah panas yang masuk ke bumi dan dipantulkan kembali ke langit sama banyaknya, maka bumi tetap sehat dan layak buat manusia, tetapi bila panas yang dipancarkan ke bumi lebih banyak daripada yang dipantulkan kembali ke angkasa, maka suhu bumi akan panas. Inilah yang disebut pemanasan global atau global warming.

Pemanasan global atau Global Warming adalah adanya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi. Banyak kerugian yang dirasakan manusia di masa kini dan masa akan datang akibat pemanasan global. Dalam puluhan tahun ke depan diperkirakan ketinggian air laut bertambah karena es di kutub mencair.

Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18°C (1.33 ± 0.32°F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia” melalui efek rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8. Akan tetapi, masih terdapat beberapa ilmuwan yang tidak setuju dengan beberapa kesimpulan yang dikemukakan IPCC tersebut.

Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan suhu permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100. Perbedaan angka perkiraan itu disebabkan oleh penggunaan skenario-skenario berbeda mengenai emisi gas-gas rumah kaca di masa mendatang, serta model-model sensitivitas iklim yang berbeda. Walaupun sebagian besar penelitian terfokus pada periode hingga 2100, pemanasan dan kenaikan muka air laut diperkirakan akan terus berlanjut selama lebih dari seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil. Ini mencerminkan besarnya kapasitas panas dari lautan.

Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang lain seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrim, serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat-akibat pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser, dan punahnya berbagai jenis hewan.

Beberapa hal-hal yang masih diragukan para ilmuwan adalah mengenai jumlah pemanasan yang diperkirakan akan terjadi di masa depan, dan bagaimana pemanasan serta perubahan-perubahan yang terjadi tersebut akan bervariasi dari satu daerah ke daerah yang lain. Hingga saat ini masih terjadi perdebatan politik dan publik di dunia mengenai apa, jika ada, tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi atau membalikkan pemanasan lebih lanjut atau untuk beradaptasi terhadap konsekuensi-konsekuensi yang ada. Sebagian besar pemerintahan negara-negara di dunia telah menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto, yang mengarah pada pengurangan emisi gas-gas rumah kaca.

3.1 Penyebab Pemanasan Global

· Rumah Kaca

Rumah kaca atau green house sebenarnya adalah suatu bangunan tertutup yang dinding dan atapnya terbuat dari kaca. Rumah kaca ini berfungsi untuk mengatur iklim mikro (iklim di dalam rumah kaca itu) sesuai dengan keinginan kita. Jadi, seumpama di luar sedang musim dingin, maka di dalam rumah kaca ini suhunya bisa menjadi hangat. Caranya dengan menahan panas dari sinar matahari yang masuk melalui dinding dan atap kaca. Makanya rumah kaca lebih banyak digunakan untuk pertanian di daerah yang punya empat musim.

Prinsip yang mirip efek rumah kaca ini juga menyebakan terjadinya pemanasan global di bumi. Panas dari matahari yang masuk ke atmosfer bumi, tidak semuanya bisa dipantulkan kembali keluar atmosfer, sebagian panas tersebut tetap tertahan di dalam atmosfer bumi. Penyebabnya adalah polusi besar-besaran gas CO2. Gas CO2 yang berlebihan bisa menghambat keluarnya panas matahari yang dipantulkan bumi. Polusi gas CO2 ini paling besar berasal pembakaran bahan bakar fosil. Bahan bakar fosil ini adalah bahan bakar yang terbentuk dari fosil tumbuhan atau hewan purba. Bahan bakar ini misalnya minyak bumi (yang kemudian jadi bensin dan solar) dan batubara. Kemajuan teknologi industri dan kendaraan adalah penyumbang terbesar pembakaran bahan bakar fosil ini. Hingga saat ini, sebagian besar mobil masih menggunakan bensin atau solar sementara industri masih banyak yang memanfaatkan batu bara sebagai sumber tenaganya.

Dalam laporan terbaru, Fourth Assessment Report, yang dikeluarkan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), satu badan PBB yang terdiri dari 1.300 ilmuwan dari seluruh dunia, terungkap bahwa 90% aktivitas manusia selama 250 tahun terakhir inilah yang membuat planet kita semakin panas. Sejak Revolusi Industri, tingkat karbon dioksida beranjak naik mulai dari 280 ppm menjadi 379 ppm dalam 150 tahun terakhir. Tidak main-main, peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer Bumi itu tertinggi sejak 650.000 tahun terakhir!

IPCC juga menyimpulkan bahwa 90% gas rumah kaca yang dihasilkan manusia, seperti karbon dioksida, metana, dan dinitrogen oksida, khususnya selama 50 tahun ini, telah secara drastis menaikkan suhu Bumi. Sebelum masa industri, aktivitas manusia tidak banyak mengeluarkan gas rumah kaca, tetapi pertambahan penduduk, pembabatan hutan, industri peternakan, dan penggunaan bahan bakar fosil menyebabkan gas rumah kaca di atmosfer bertambah banyak dan menyumbang pada pemanasan global.

· Efek Umpan Balik

Anasir penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai proses umpan balik yang dihasilkannya. Sebagai contoh adalah pada penguapan air. Pada kasus pemanasan akibat bertambahnya gas-gas rumah kaca seperti CO2, pemanasan pada awalnya akan menyebabkan lebih banyaknya air yang menguap ke atmosfer. Karena uap air sendiri merupakan gas rumah kaca, pemanasan akan terus berlanjut dan menambah jumlah uap air di udara sampai tercapainya suatu kesetimbangan konsentrasi uap air. Efek rumah kaca yang dihasilkannya lebih besar bila dibandingkan oleh akibat gas CO2 sendiri. (Walaupun umpan balik ini meningkatkan kandungan air absolut di udara, kelembaban relatif udara hampir konstan atau bahkan agak menurun karena udara menjadi menghangat). Umpan balik ini hanya berdampak secara perlahan-lahan karena CO2 memiliki usia yang panjang di atmosfer.

Efek umpan balik karena pengaruh awan sedang menjadi objek penelitian saat ini. Bila dilihat dari bawah, awan akan memantulkan kembali radiasi infra merah ke permukaan, sehingga akan meningkatkan efek pemanasan. Sebaliknya bila dilihat dari atas, awan tersebut akan memantulkan sinar Matahari dan radiasi infra merah ke angkasa, sehingga meningkatkan efek pendinginan. Apakah efek netto-nya menghasilkan pemanasan atau pendinginan tergantung pada beberapa detail-detail tertentu seperti tipe dan ketinggian awan tersebut. Detail-detail ini sulit direpresentasikan dalam model iklim, antara lain karena awan sangat kecil bila dibandingkan dengan jarak antara batas-batas komputasional dalam model iklim (sekitar 125 hingga 500 km untuk model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat). Walaupun demikian, umpan balik awan berada pada peringkat dua bila dibandingkan dengan umpan balik uap air dan dianggap positif (menambah pemanasan) dalam semua model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat.

Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan cahaya (albedo) oleh es. Ketika temperatur global meningkat, es yang berada di dekat kutub mencair dengan kecepatan yang terus meningkat. Bersamaan dengan melelehnya es tersebut, daratan atau air dibawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun air memiliki kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan es, dan akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi Matahari. Hal ini akan menambah pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es yang mencair, menjadi suatu siklus yang berkelanjutan.

Umpan balik positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya tanah beku (permafrost) adalah mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan. Selain itu, es yang meleleh juga akan melepas CH4 yang juga menimbulkan umpan balik positif.

Kemampuan lautan untuk menyerap karbon juga akan berkurang bila ia menghangat, hal ini diakibatkan oleh menurunya tingkat nutrien pada zona mesopelagic sehingga membatasi pertumbuhan diatom daripada fitoplankton yang merupakan penyerap karbon yang rendah.

· Variasi Matahari

Terdapat hipotesa yang menyatakan bahwa variasi dari Matahari, dengan kemungkinan diperkuat oleh umpan balik dari awan, dapat memberi kontribusi dalam pemanasan saat ini. Perbedaan antara mekanisme ini dengan pemanasan akibat efek rumah kaca adalah meningkatnya aktivitas Matahari akan memanaskan stratosfer sebaliknya efek rumah kaca akan mendinginkan stratosfer. Pendinginan stratosfer bagian bawah paling tidak telah diamati sejak tahun 1960, yang tidak akan terjadi bila aktivitas Matahari menjadi kontributor utama pemanasan saat ini. (Penipisan lapisan ozon juga dapat memberikan efek pendinginan tersebut tetapi penipisan tersebut terjadi mulai akhir tahun 1970-an.) Fenomena variasi Matahari dikombinasikan dengan aktivitas gunung berapi mungkin telah memberikan efek pemanasan dari masa pra-industri hingga tahun 1950, serta efek pendinginan sejak tahun 1950.

Ada beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa kontribusi Matahari mungkin telah diabaikan dalam pemanasan global. Dua ilmuan dari Duke University mengestimasikan bahwa Matahari mungkin telah berkontribusi terhadap 45-50% peningkatan temperatur rata-rata global selama periode 1900-2000, dan sekitar 25-35% antara tahun 1980 dan 2000. Stott dan rekannya mengemukakan bahwa model iklim yang dijadikan pedoman saat ini membuat estimasi berlebihan terhadap efek gas-gas rumah kaca dibandingkan dengan pengaruh Matahari; mereka juga mengemukakan bahwa efek pendinginan dari debu vulkanik dan aerosol sulfat juga telah dipandang remeh. Walaupun demikian, mereka menyimpulkan bahwa bahkan dengan meningkatkan sensitivitas iklim terhadap pengaruh Matahari sekalipun, sebagian besar pemanasan yang terjadi pada dekade-dekade terakhir ini disebabkan oleh gas-gas rumah kaca.

Pada tahun 2006, sebuah tim ilmuan dari Amerika Serikat, Jerman dan Swiss menyatakan bahwa mereka tidak menemukan adanya peningkatan tingkat "keterangan" dari Matahari pada seribu tahun terakhir ini. Siklus Matahari hanya memberi peningkatan kecil sekitar 0,07% dalam tingkat "keterangannya" selama 30 tahun terakhir. Efek ini terlalu kecil untuk berkontribusi terhadap pemansan global. Sebuah penelitian oleh Lockwood dan Fröhlich menemukan bahwa tidak ada hubungan antara pemanasan global dengan variasi Matahari sejak tahun 1985, baik melalui variasi dari output Matahari maupun variasi dalam sinar kosmis.

· Jumlah Populasi Penduduk

Luas tanah di bumi tidak bertambah, tetapi jumlah penduduk semakin banyak. Akibatnya, lahan untuk tumbuhan dan pertanian semakin sedikit karena dipakai untuk tempat tinggal manusia. Selain itu, penduduk yang bertambah banyak juga membutuhkan air yang lebih banyak. Air yang seharusnya untuk irigasi tanaman dan tumbuhan berkurang karena dipakai manusia. Tanaman yang tidak mendapat pasokan air akhirnya menghasilkan panen yang semakin sedikit.

· Industri

Negara industri atau yang disebut sebagai negara maju adalah yang paling bertanggung jawab terjadinya pemanasan global. Bagaimana tidak, negara-negara maju seperti Amerika dan Eropa menyumbang 50 persen lebih penyebab pemanasan global. Yang paling buruk adalah industri mobil yang dulu pusatnya di Amerika. Kini industri besar-besaran tidak cuma di Amerika, tetapi juga di negara yang sedang berkembang seperti China, India, dan Indonesia. Polusi dari industri hampir merata di seluruh di dunia.

· Sampah

Sampah menghasilkan gas metana (CH4). Diperkirakan 1 ton sampah padat menghasilkan 50 kg gas metana. Sampah merupakan masalah besar yang dihadapi kota-kota di Indonesia. Menurut Kementerian Negara Lingkungan Hidup pada tahun 1995 rata-rata orang di perkotaan di Indonesia menghasilkan sampah sebanyak 0,8 kg/hari dan pada tahun 2000 terus meningkat menjadi 1 kg/hari. Dilain pihak jumlah penduduk terus meningkat sehingga diperkirakan pada tahun 2020 sampah yang dihasilkan mencapai 500 juta kg/hari atau 190 ribu ton/tahun. Dengan jumlah ini maka sampah akan mengemisikan gas metana sebesar 9500 ton/tahun. Dengan demikian, sampah di perkotaan merupakan sektor yang sangat potensial, mempercepat proses terjadinya pemanasan global.

· Kerusakan hutan

Salah satu fungsi tumbuhan yaitu menyerap karbondioksida (CO2), yang merupakan salah satu dari gas rumah kaca dan mengubahnya menjadi oksigen (O2). Saat ini di Indonesia diketahui telah terjadi kerusakan hutan yang cukup parah. Menurut data dari Forest Watch Indonesia (2001), laju kerusakan hutan di Indonesia sekitar 2,2 juta/tahun. Kerusakan hutan tersebut disebabkan oleh kebakaran hutan, perubahan tata guna lahan yaitu perubahan hutan menjadi perkebunan dengan tanaman tunggal secara besar-besaran, misalnya perkebunan kelapa sawit serta kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Dengan kerusakan seperti tersebut diatas, tentu saja proses penyerapan karbondioksida tidak dapat optimal. Hal ini akan mempercepat terjadinya pemanasan global. Menurut data dari Yayasan Pelangi pada tahun 1990, emisi gas CO2 yang dilepaskan oleh sektor kehutanan termasuk perubahan tata guna lahan mencapai 64 % dari total emisi CO2 Indonesia yang mencapai 748,61 kiloTon. Pada tahun 1994 terjadi peningkatan emisi karbon menjadi 74%.

· Pertanian dan Peternakan (konsumsi daging)

Sektor ini memberikan kontribusi terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca melalui sawah-sawah yang tergenang yang menghasilkan gas metana. Pemanfaatan pupuk serta praktek pertanian, pembakaran sisa-sisa tanaman, pembusukan sisa-sisa pertanian, dan pembusukan kotoran ternak. Dari sektor ini gas rumah kaca yang dihasilkan yaitu gas metana (CH4) dan gas dinitro oksida (N2O).

Penelitian yang telah dilakukan para ahli selama beberapa dekade terakhir ini menunjukkan bahwa ternyata makin panasnya planet bumi dan berubahnya sistem iklim di bumi terkait langsung dengan gas-gas rumah kaca yang dihasilkan oleh aktivitas manusia.

Khusus untuk mengawasi sebab dan dampak yang dihasilkan oleh pemanasan global, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) membentuk sebuah kelompok peneliti yang disebut dengan Panel Antarpemerintah Tentang Perubahan Iklim atau disebut International Panel on Climate Change (IPCC). Setiap beberapa tahun sekali, ribuan ahli dan peneliti-peneliti terbaik dunia yang tergabung dalam IPCC mengadakan pertemuan untuk mendiskusikan penemuan-penemuan terbaru yang berhubungan dengan pemanasan global, dan membuat kesimpulan dari laporan dan penemuan- penemuan baru yang berhasil dikumpulkan, kemudian membuat persetujuan untuk solusi dari masalah tersebut .

Salah satu hal pertama yang mereka temukan adalah bahwa beberapa jenis gas rumah kaca bertanggung jawab langsung terhadap pemanasan yang kita alami, dan manusialah kontributor terbesar dari terciptanya gas-gas rumah kaca tersebut. Kebanyakan dari gas rumah kaca ini dihasilkan oleh peternakan, pembakaran bahan bakar fosil pada kendaraan bermotor, pabrik-pabrik modern, pembangkit tenaga listrik, serta pembabatan hutan.

Tetapi, menurut Laporan Perserikatan Bangsa Bangsa tentang peternakan dan lingkungan yang diterbitkan pada tahun 2006 mengungkapkan bahwa, "industri peternakan adalah penghasil emisi gas rumah kaca yang terbesar (18%), jumlah ini lebih banyak dari gabungan emisi gas rumah kaca seluruh transportasi di seluruh dunia (13%). " Hampir seperlima (20 persen) dari emisi karbon berasal dari peternakan. Jumlah ini melampaui jumlah emisi gabungan yang berasal dari semua kendaraan di dunia!

Sektor peternakan telah menyumbang 9 persen karbon dioksida, 37 persen gas metana (mempunyai efek pemanasan 72 kali lebih kuat dari CO2 dalam jangka 20 tahun, dan 23 kali dalam jangka 100 tahun), serta 65 persen dinitrogen oksida (mempunyai efek pemanasan 296 kali lebih lebih kuat dari CO2). Peternakan juga menimbulkan 64 persen amonia yang dihasilkan karena campur tangan manusia sehingga mengakibatkan hujan asam.

Peternakan juga telah menjadi penyebab utama dari kerusakan tanah dan polusi air. Saat ini peternakan menggunakan 30 persen dari permukaan tanah di Bumi, dan bahkan lebih banyak lahan serta air yang digunakan untuk menanam makanan ternak.

Menurut laporan Bapak Steinfeld, pengarang senior dari Organisasi Pangan dan Pertanian, Dampak Buruk yang Lama dari Peternakan - Isu dan Pilihan Lingkungan (Livestock's Long Shadow-Environmental Issues and Options), peternakan adalah "penggerak utama dari penebangan hutan kira-kira 70 persen dari bekas hutan di Amazon telah dialih-fungsikan menjadi ladang ternak.

Selain itu, ladang pakan ternak telah menurunkan mutu tanah. Kira-kira 20 persen dari padang rumput turun mutunya karena pemeliharaan ternak yang berlebihan, pemadatan, dan erosi. Peternakan juga bertanggung jawab atas konsumsi dan polusi air yang sangat banyak. Di Amerika Serikat sendiri, trilyunan galon air irigasi digunakan untuk menanam pakan ternak setiap tahunnya. Sekitar 85 persen dari sumber air bersih di Amerika Serikat digunakan untuk itu. Ternak juga menimbulkan limbah biologi berlebihan bagi ekosistem.

Selain kerusakan terhadap lingkungan dan ekosistem, tidak sulit untuk menghitung bahwa industri ternak sama sekali tidak hemat energi. Industri ternak memerlukan energi yang berlimpah untuk mengubah ternak menjadi daging di atas meja makan orang. Untuk memproduksi satu kilogram daging, telah menghasilkan emisi karbon dioksida sebanyak 36,4 kilo. Sedangkan untuk memproduksi satu kalori protein, kita hanya memerlukan dua kalori bahan bakar fosil untuk menghasilkan kacang kedelai, tiga kalori untuk jagung dan gandum; akan tetapi memerlukan 54 kalori energi minyak tanah untuk protein daging sapi!

Itu berarti kita telah memboroskan bahan bakar fosil 27 kali lebih banyak hanya untuk membuat sebuah hamburger daripada konsumsi yang diperlukan untuk membuat hamburger dari kacang kedelai!

Dengan menggabungkan biaya energi, konsumsi air, penggunaan lahan, polusi lingkungan, kerusakan ekosistem, tidaklah mengherankan jika satu orang berdiet daging dapat memberi makan 15 orang berdiet tumbuh-tumbuhan atau lebih.

Dampak Pemanasan Global

Para ilmuan menggunakan model komputer dari temperatur, pola presipitasi, dan sirkulasi atmosfer untuk mempelajari pemanasan global. Berdasarkan model tersebut, para ilmuan telah membuat beberapa prakiraan mengenai dampak pemanasan global terhadap cuaca, tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan hewan liar dan kesehatan manusia.

· Iklim Mulai Tidak Stabil

Para ilmuan memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara dari belahan Bumi Utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung di perairan Utara tersebut. Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Temperatur pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk meningkat.

Daerah hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari lautan. Para ilmuan belum begitu yakin apakah kelembaban tersebut malah akan meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang lebih jauh lagi. Hal ini disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca, sehingga keberadaannya akan meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga akan membentuk awan yang lebih banyak, sehingga akan memantulkan cahaya matahari kembali ke angkasa luar, di mana hal ini akan menurunkan proses pemanasan (lihat siklus air). Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan. (Curah hujan di seluruh dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam seratus tahun terakhir ini). Badai akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane) yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrim.

· Peningkatan Permukaan Laut

Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan juga akan mencairkan banyak es di kutub, terutama sekitar Greenland, yang lebih memperbanyak volume air di laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia telah meningkat 10 - 25 cm (4 - 10 inchi) selama abad ke-20, dan para ilmuan IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut 9 - 88 cm (4 - 35 inchi) pada abad ke-21.

Perubahan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah pantai. Kenaikan 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda, 17,5 persen daerah Bangladesh, dan banyak pulau-pulau. Erosi dari tebing, pantai, dan bukit pasir akan meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan. Negara-negara kaya akan menghabiskan dana yang sangat besar untuk melindungi daerah pantainya, sedangkan negara-negara miskin mungkin hanya dapat melakukan evakuasi dari daerah pantai.

Bahkan sedikit kenaikan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi ekosistem pantai. Kenaikan 50 cm (20 inchi) akan menenggelamkan separuh dari rawa-rawa pantai di Amerika Serikat. Rawa-rawa baru juga akan terbentuk, tetapi tidak di area perkotaan dan daerah yang sudah dibangun. Kenaikan muka laut ini akan menutupi sebagian besar dari Florida Everglades.

· Suhu global cenderung meningkat

Orang mungkin beranggapan bahwa Bumi yang hangat akan menghasilkan lebih banyak makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di beberapa tempat. Bagian Selatan Kanada, sebagai contoh, mungkin akan mendapat keuntungan dari lebih tingginya curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di lain pihak, lahan pertanian tropis semi kering di beberapa bagian Afrika mungkin tidak dapat tumbuh. Daerah pertanian gurun yang menggunakan air irigasi dari gunung-gunung yang jauh dapat menderita jika snowpack (kumpulan salju) musim dingin, yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair sebelum puncak bulan-bulan masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami serangan serangga dan penyakit yang lebih hebat.

· Gangguan Ekologis

Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari efek pemanasan ini karena sebagian besar lahan telah dikuasai manusia. Dalam pemanasan global, hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas pegunungan. Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari daerah baru karena habitat lamanya menjadi terlalu hangat. Akan tetapi, pembangunan manusia akan menghalangi perpindahan ini. Spesies-spesies yang bermigrasi ke utara atau selatan yang terhalangi oleh kota-kota atau lahan-lahan pertanian mungkin akan mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu secara cepat berpindah menuju kutub mungkin juga akan musnah.

· Dampak Sosial dan Politik

Perubahan cuaca dan lautan dapat mengakibatkan munculnya penyakit-penyakit yang berhubungan dengan panas (heat stroke) dan kematian. Temperatur yang panas juga dapat menyebabkan gagal panen sehingga akan muncul kelaparan dan malnutrisi. Perubahan cuaca yang ekstrem dan peningkatan permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub utara dapat menyebabkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan bencana alam (banjir, badai dan kebakaran) dan kematian akibat trauma. Timbulnya bencana alam biasanya disertai dengan perpindahan penduduk ke tempat-tempat pengungsian dimana sering muncul penyakit, seperti: diare, malnutrisi, defisiensi mikronutrien, trauma psikologis, penyakit kulit, dan lain-lain.

Pergeseran ekosistem dapat memberi dampak pada penyebaran penyakit melalui air (Waterborne diseases) maupun penyebaran penyakit melalui vektor (vector-borne diseases). Seperti meningkatnya kejadian Demam Berdarah karena munculnya ruang (ekosistem) baru untuk nyamuk ini berkembang biak. Dengan adamya perubahan iklim ini maka ada beberapa spesies vektor penyakit (eq Aedes Agipty), Virus, bakteri, plasmodium menjadi lebih resisten terhadap obat tertentu yang target nya adala organisme tersebut. Selain itu bisa diprediksi kan bahwa ada beberapa spesies yang secara alamiah akan terseleksi ataupun punah dikarenakan perbuhan ekosistem yang ekstreem ini. hal ini juga akan berdampak perubahan iklim (Climat change)yang bis berdampak kepada peningkatan kasus penyakit tertentu seperti ISPA (kemarau panjang / kebakaran hutan, DBD Kaitan dengan musim hujan tidak menentu)

Gradasi Lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran limbah pada sungai juga berkontribusi pada waterborne diseases dan vector-borne disease. Ditambah pula dengan polusi udara hasil emisi gas-gas pabrik yang tidak terkontrol selanjutnya akan berkontribusi terhadap penyakit-penyakit saluran pernafasan seperti asma, alergi, coccidiodomycosis, penyakit jantung dan paru kronis, dan lain-lain.

3.2 Pengendalian Pemanasan Global

Konsumsi total bahan bakar fosil di dunia meningkat sebesar 1 persen per-tahun. Langkah-langkah yang dilakukan atau yang sedang diskusikan saat ini tidak ada yang dapat mencegah pemanasan global di masa depan. Tantangan yang ada saat ini adalah mengatasi efek yang timbul sambil melakukan langkah-langkah untuk mencegah semakin berubahnya iklim di masa depan.

Kerusakan yang parah dapat diatasi dengan berbagai cara. Daerah pantai dapat dilindungi dengan dinding dan penghalang untuk mencegah masuknya air laut. Cara lainnya, pemerintah dapat membantu populasi di pantai untuk pindah ke daerah yang lebih tinggi. Beberapa negara, seperti Amerika Serikat, dapat menyelamatkan tumbuhan dan hewan dengan tetap menjaga koridor (jalur) habitatnya, mengosongkan tanah yang belum dibangun dari selatan ke utara. Spesies-spesies dapat secara perlahan-lahan berpindah sepanjang koridor ini untuk menuju ke habitat yang lebih dingin.

Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen karbon-nya di tempat lain. Cara ini disebut carbon sequestration (menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah kaca.

Sumber :

2008. Definisi PPM (Part Per Million) atau Bagian per Sejuta Bagian. http://belajarkimia.com/definisi-ppm-part-per-million-atau-bagian-per-sejuta bagian/ , www.google.com. Diakses tanggal 15 Februari 2010.

2009. Bagian per miliar. http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://www.greenfacts.org/glossary/pqrs/parts-per-billion.htm/ , www.google.com. Diakses tanggal 15 Februari 2010.

C Tarumingkeng, Rudy, PhD. 2000. DDT dan permasalahannya di ABAD 21 (DDT and its problem in 21st century). http://www.rudyct.com/dethh/9_DDT_and_its_problem.htm/ , www.google.com. Diakses tanggal 15 Februari 2010.

2010. Pemanasan Global. http://id.wikipedia.org/wiki/Pemanasan_global. www.translate.google.com. Diakses tanggal 19 Februari 2010.